Jodoh Aini

Isna Nur Isnaini
Chapter #7

Utang

“Alhamdulillah ya, Pak. Hari ini kios kita ramai sekali.”

“Benar, Bu. Untungnya juga lumayan, bisa untuk keperluan kita.”

“Em..pak, boleh nggak ibu tahu penjualan dan uang yang masuk ke warung kita setiap harinya?” Tanya Aini pelan, takut Darman tersinggung.

“Ada apa rupanya, Bu? Ibu tidak percaya sama bapak atau bagaimana?” Tanya Darman seperti tidak suka dengan pertanyaan istrinya.

“Bukan begitu, Pak. Sebagai istri wajarkan kalau ibu juga pengen tahu bagaimana mengelola usaha agar maju, berkembang dan bisa mendapat keuntungan.”

“Sepertinya Ibu curiga ya sama bapak, sampai tanya-tanya tentang keuangan warung. Bu, aku sudah cukupi semua kebutuhan. Apa masih kurang? Bapak memang saat ini belum bisa kasih lebih, Bu. Bapak kan juga punya tanggungan untuk biayai Kinasih to Bu.” Suara Darman sedikit meninggi,

“Sudah, Pak, sudah!” Aini bicara dengan suara sengaja dibuat pelan agar Darman tidak semakin emosi. “Ya sudah, kalau tidak boleh tahu, tidak apa-apa.” Aini menutup pembicaraan.

Sejak peristiwa itu Aini tidak lagi berani bertanya mengenai usaha bakso yang dijalankan sauaminya dengan bantuannya. Aini menjalankan rutinitasnya mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mengurus Dimas, dan setelah selesai kemudian ke warung membantu suaminya melayani pelanggan yang terus datang ke warungnya.

Sore dan malam harinya, Aini membantu Darman untuk mengupas bawang merah, bawang putih dan membersihkan daun bawang, juga capai. Bumbu-bumbu itu esoknya dibawa ke kios untuk bumbu daging yang digiling. Rasa pedas di tangan Aini karena mengupas beberapa kilo bawang tidak dirasakannnya selama bisa membantu usaha suaminya itu.

Aini bisa menerka, dengan banyaknya orang yang datang menggunakan jasa giling daging yang dijalankan suaminya, berapa kira-kira pemasukan yang diterima. Akan tetapi sampai sekarang Aini belum tahu bagaimana suaminya mengelola keuangan usaha itu. Aini juga tidak tahu dimana suaminya menyimpan uang hasil usaha karena di kontrakan Aini tidak pernah melihat Darman menyimpan uang dalam jumlah banyak.

**

“Mas! Mas! Suara teriakan di luar kontrakan mengagetkan Aini, Dimas dan Darman yang baru selesai makan malam di ruang tengah kontrakannya.

“Ada apa, Mas?” Tanya Darman kaget mendengar tetangga kontrakan yang tinggal tepat di sampingnya teriak kencang.

“Kamu ini bagaimana, Mas? Kita sesama penghuni kontrakan, bau daganganmu sampai ke tempatku. Lama-lama bikin pusing, Mas. Bau bawang, daun bawang, setiap hari ganggu, Mas. Apalagi yang sudah busuk dan kamu biarkan. Kamu itu jadi orang, tahu dikit lah ke tetangga. Bagaimana caranya biar tidak menebar bau belanjaan kamu itu!” Teriak lelaki yang sudah beberapa bulan menjadi tetangga kontrakan itu.

“Waduh, Mas, sebau apa to Mas kupasan bawang ini sampai sampean marah-marah seperti itu? Tetangga lainnya lho yang sudah lebih lama tinggal di sini nggak pernah komplen ke saya.”

“Alah! Mereka malas saja komplen. Saya ini pulang kerja sampai kontrakan mau istirahat, Mas. Bagaimana istirahat kalau bau bawang setiap malam. Belum lagi bikin pedih di mata. Kalau mau buat dagangan, sana! Di kios kamu sana! Jangan di sini!”

“Mas! Saya di sini bayar kontrakan. Pemilik kontrakan tidak pernah mengusik saya, kenapa kamu selalu buat ribut sama saya?” suara Darman meninggi.

Aini melerai suaminya, “Sudah pak, jangan diladeni! Ayo, masuk saja! kita lanjutkan pekerjaan persiapan buat besok di kios.”

“Masalahnya dia tidak sekali ini berulah, Bu. Sudah beberapa kali. Keenakan dia kalau dibiarkan. Memangnya bau kupasan bawang kita seperti apa sampai dia marah-marah.”

“Biarkan, Pak. Nggak usah diladeni!” Aini mencoba melerai suaminya yang juga sudah hampir terpancing emosi.

“Bu, kalau seperti ini terus pasti kita tidak tenang tinggal di sini.”

“Lha mau bagaimana lagi, Pak. Kita harus bagaimana?”

“Bagaimana kalau kita pindah kontrakan saja? Ngontrak satu rumah, jadi nggak dempet-dempetan sama tetangga. Mau cari uang juga lama-lama nggak nyaman kan kalau sering kejadian seperti tadi.”

“Iya juga sih, Pak. Sejak ibu di sini saja sudah tiga kali kejadian tetangga itu marah-marah seperti tadi.”

“Makanya, maksud bapak, kita pindah ngontrak satu rumah saja.”

“Kalau kontrak satu rumah kan biasanya yang punya minta bayaran untuk satu tahun, malah bisa jadi lebih, Pak. Mahal. Kalau di sini kan bisa bayar bulanan, jadi Bapak bisa kumpulkan uangnya dari jualan. Atau pindah cari kontrakan lain seperti ini?”

“Bapak takut kejadiannya seperti tadi terulang lagi sama tetangga di sana Bu, kalau pindah ke kontrakan petakan lagi.”

“Kalau ibu sih ngikut saja, mana baiknya menurut Bapak.”

“Ya coba besok bapak cari informasi dari kenalan di pasar, siapa tahu ada yang bisa bantu cari rumah kontrakan yang harganya murah.”

“Semoga saja, Pak.” Jawab Aini.

**

“Bu, ini ada rumah yang mau dikontrakan, cuma tempatnya agak jauh, sekitar 1,5km dari pasar. Bagaimana, apa mau kita ambil saja?” Tanya Darman.

“Kita lihat dulu saja, Pak. Siapa tahu cocok, nggak apa agak jauh. Kalau ke pasar kan kita bisa naik sepeda.”

Lihat selengkapnya