“Pak, bulan ini sudah kirim uang untuk kak Asih apa belum? Jangan sampai Bapak lupa, kak Asih kan harus bayar sekolah dan keperluan lain.” Ucap Aini mengingatkan suaminya untuk mengirim uang ke anak pertamanya yang ikut mantan istrinya.
“Sudah, Bu. Itu urusan bapak.” Jawab Darman.
“Maaf, Pak. Bukan ibu turut campur. Ibu hanya mengingatkan. Walaupun kak Asih bersama ibunya dan bapak sambungnya, tapi Bapak tetap mempunyai kewajiban untuk menafkahi.” Ucap Aini.
“Iya, Bu. Bapak paham. Sudah bapak mau salat dulu.”
Tidak lama kemudian HP Darman yang diletakkan di meja berdering. Aini mendekati meja itu dan mengambil HP yang masih berdering. Di layar muncul tulisan “Genduk Kinasih”.
Aini menerima panggilan dari anak sambungnya itu,”Hallo Kak, Assalamualaikum.” Suara Aini lembut.
“Aku tidak ada urusan sama kamu. Aku mau bicara sama bapakku, mana bapakku?” Suara anak perempuan dengan nada tinggi terdengar dari seberang.
“Astaghfirullah, Kak. Aku juga ibumu lho Kak. Seharusnya Kak Kasih bicaranya lebih lembut.”
“Aku nggak punya ibu macam kamu. Mana bapakku?” Suara di seberang semakin kencang.
“Bapak lagi salat. Kakak mau titip pesan apa, nanti ibu sampaikan. Biar bapak telepon ke kakak kalau sudah selesai salat.” Ucap Aini masih dengan suara lembut.
Di seberang, Kinasih, anak yang duduk di kelas 2 SMP itu sudah mematikan panggilan teleponnya.
“Siapa, Bu?” tanya Darman yang baru saja selesai salat.
“Kinasih, Pak. Anak itu sepertinya susah menerima kehadiranku, Pak. Dia bicaranya dengan nada tinggi dan terdengar sinis.” Aini coba menjelaskan pada Darman.
“Maklum, Bu. Anak segitu kan sudah biasa seperti dia. Namanya masih anak-anak menjelang remaja.
“Tapi kan bisa lebih sopan, Pak. Aku juga ibunya kan sekarang ini,” bela Aini.
“Sudah, nggak usah diperpanjang. Memang kenapa Kasih?”
“Nggak tahu, Pak. Tadi hanya tanya dimana bapak, ibu jawab masih salat.”
“Biar aku telepon dia.” Jelas Darman.
Darman kemudian mengambil HP dan berjalan ke teras, duduk di kursi kemudian menelepon anak perempuannya yang kini tinggal bersama mantan istri Darman.
Sudah beberapa bulan menikah dengan Darman, Aini memang belum pernah bertemu dengan anak sambungnya itu. Sebenarnya, jika memungkinkan Aini ingin Dimas dan Kinasih sama-sama diasuhnya. Tapi ibu Kinasih tidak pernah memberikan izin. Aini paham, sebagai ibu pasti berat melepas anaknya untuk tinggal bersama bapak dan ibu sambungnya.
**
Aini, kios mas Darman semakin ramai ya, untungnya pasti banyak.” ucap mba Santi, penjual sayuran yang menempati kios tidak jauh dari kios Darman.