Jodoh Aini

Isna Nur Isnaini
Chapter #9

Melepas Celengan

“Pak, maaf. Uang mbah Dimas bagaimana ya, Pak? Aku nggak enak kalau uangnya belum dibalikin. Takut mbah Dimas mikirnya kita di sini hidup susah sampai belum bisa mengembalikan.” Ucap Aini dengan nada pelan karena takut menyinggung perasaan suaminya.

“Hem..sabar, Bu. Bapak juga masih mengusahakan ini. Nanti kalau sudah terkumpul dan cukup, pasti bapak balikkan uang mbah-nya Dimas. Jawab Darman.

“Ibu percaya, Pak. Hanya tidak enak saja sama mbah-nya Dimas kalau kita pinjam terlalu lama., sudah lebih dari satu tahun lho”

“Iya, aku ngerti. Tapi bagaimana kalau belum ada.”

“Ibu usul, Pak. Bagaimana kalau bapak sisihkan setiap hari dari keuntungan kios untuk mengembalikan uang itu.”

“Bu, ya memang keuntungan kios yang bapak andalkan. Mau dari mana lagi kalau tidak dari jualan di warung.”

“Maaf lho, Pak. Kios kita kan ramai. Seharusnya kan keuntungannya lumayan. dan pengeluaran kita kan tidak terlalu banyak, jadi pastinya bapak bisa menyisihkan uang untuk mengembalikan uang mbah-nya Dimas.”

“Paham, Bu, bapak paham. Nggak usah diulang-ulang. Masalahnya saat ini uangnya belum cukup. Ini saja bapak masih mikir bagaimana agar keuangan kita semakin membaik.”

“Ya, sudah Pak. Semoga rezekinya segera terkumpul dan bisa mengembalikan uang mbah nya Dimas ya, Pak.”

“Aamiin. O, ya Bu. Tadi Ranto, adikku, telpon. Katanya minggu ini mau datang ke sini, mau bantu-bantu di kios. Ibu tidak keberatan to?”

“Ya ndak keberatan to, Pak. Malah seneng, rumah kita jadi ramai dan ada yang bantu Bapak.”

**

“Wah, Mas. Rame tenan ya usaha sampean. Antri-antri yang mau nggiling daging, sampai nggak ada waktu ngaso.” Ucap Ranto saat hari pertama bantu di kios penggilingan daging milik Darman.

“Alhamdulillah, Dek. Kalau dek Ranto capek, istirahat saja dulu. Kalau nunggu sepi, memang kadang nggak sempat istirahat, Dek.” Jawab Aini yang ada di samping Ranto dan Darman.

“Iya, mbak. Seneng kalau usahanya rame terus begini. Sepertinya sejak menikah dengan sampean usaha mas Darman semakin maju ini.”

“Alhamdulillah, disyukuri saja yang sudah diberikan oleh Gusti Allah.” Jawab Darman.

“Semoga bisa segera buka cabang ya Mas, penggilingan dagingnya. Dan semoga mas Darman dan mba Aini juga segera bisa beli rumah, biar ndak ngontrak terus.” Lanjut Darman.

Sampai di rumah, Ranto masih membicarakan usaha kakak sulungnya itu. “Mas, seminggu di sini, aku lihat usaha sampean memang benar-benar maju yo, pasti untungnya banyak. Apa ndak rencana beli rumah to, Mas. Mbok rumah ini saja kalau dijual, Mas Darman beli.”

“Duitnya belum ada, Dek.” Jawab Darman. “Beli rumah kan perlu banyak uang. Sekarang mas kamu ini belum punya banyak uang, Dek. Kalau mau punya rumah harus ngumpulkan dalam waktu lama. Entah kapan itu. Coba kamu tanya mbakmu itu, berapa kira-kira harga rumah di daerah sini. Mana setiap tahun naik lagi.”

“Aku doakan, Mas. Semoga bisa segera punya rumah, biar lebih enak nempatinya kalau milik sendiri.”

“Iya, Dek. Aamiin.” Jawab Aini menimpali obrolan suami dan iparnya itu.

Lihat selengkapnya