“Pak, ini apa ya?” Tanya Aini sambil menunjukkan slip transfer yang dikirim oleh Darman.
“Dari mana ibu menemukan kertas ini?” Darman balik bertanya.
“Jutru seharusnya ibu yang bertanya kepada bapak, kenapa ada kertas ini di tumpukan baju bapak? Kenapa bapak tidak pernah cerita kepada ibu?”
“Bu, itu kan kertas bukti transfer biasa, tidak perlu dipermasalahkan.”
“Memang ini kertas bukti transfer biasa, Pak. Tapi angka yang tertera, jumlah uang yang bapak transfer tidak biasa.” Kali ini suara Aini meninggi, mengimbangi nada suara Darman yang sedikit emosi.
“Bukankah ibu yang selalu meminta bapak untuk mengirim uang pada Kasih? Itu bukti pengiriman uang untuk Kasih, bapak kirim melalui ibunya. Kasih kan selama ini belum punya rekening.”
“Iya, ibu tahu, tapi kenapa jumlah yang dikirim banyak sekali? Ini 14 juta lho, Pak. Jumlah yang tidak sedikit untuk anak bapak yang baru kelas 1 SMP. Padahal kan setiap bulan bapak juga udah kirim uang.”
“Karena kebutuhan Kasih memang sedang banyak, Bu.”
“Sampai 14 juta? Untuk anak SMP? Pak, ibu yang selama ini membantu dan menemani bapak usaha belum pernah lihat uang bapak yang jumlahnya jutaan, tapi ini untuk Kasih bapak kirim sampai segini banyak?”
“Kan bapak sudah bilang tadi, Kasih lagi butuh banyak biaya.”
“Biaya apa Pak? Apa bayar sekolah SMP sampai segitu banyak? Kalau tahun ajaran baru dan anak itu baru masuk SMP, mungkin. Tapi ini tidak di tahun ajaran baru lho, Pak.”
“Ah, sudah! Bapak tidak mau berdebat dengan ibu. Yang penting bapak tidak lupa kewajiban sebagai suami pada ibu.”
**
Aini, aku lihat dari tadi kok sering termenung,” ucap mba Santi yang tiba-tiba sudah datang ke kios. Apa karena tidak seramai seperti biasanya? Kalau itu masalahnya, sama kok Aini, dagangan sayurku juga akhir-akhir ini agak sepi.” Lanjut Santi.
“Nggak kok, Mba. Kalau kios ada sepinya, aku bisa maklum Mba, namanya usaha. Mungkin yang biasa ke sini sedang tidak pengen menggilingkan daging.” Jawab Aini.
“Terus kenapa Aini? Maaf lho kalau aku jadi pengen tahu. Siapa ngerti kalau cerita denganku, beban pikiramu agak sedikit berkurang.”
“Em…ini lho, Mba. Mas Darman.” Jawab Aini.
“Mas Darman kenapa? Ini lagi kemana mas Darman? Kamu berantem dengan mas Darman?” Mba Santi memberondong dengan pertanyaannya.
“Mas Darman lagi pergi ke tempat langganan bumbu, katanya sedang itung-itungan. Nggak tahulah menghitung apa.”
“Ow, aku kira pergi kemana kok nggak ada di kios. Lha terus, kenapa kamu dari tadi seperti sering melamun?”
“Lagi ada yang mengganggu pikiranku, Mba.”
“Apa? Maaf, kalau boleh tahu saja,” lanjut Santi. Sepertinya dia takut menyinggung perasaan Aini.
“Nggak papa, Mba. Mba Santi kan sudah aku anggap kakak sendiri, kok. Em..aku menemukan bukti transfer dari mas Darman ke rekening mantan istrinya mba. Aku tanya, katanya uang untuk Kasih.”
“Kalau itu wajar, Aini. Mas Darman kan tetap bapaknya Kasih yang wajib memberi nafkah, seperti yang dulu pernah kamu omongkan”
“Masalahnya, jumlah yang dikirim banyak banget, Mba. Sampai 14 juta.”
“Hah! Sampai 14 juta? Banyak sekali Aini!”
“Itulah, Mba. Kalau mas Darman setiap bulan kirim uang untuk Kasih, aku tahu. Bahkan aku yang menyuruhnya karena memang mas Darman tetap mempunyai kewajiban menafkahi anaknya, tapi tentu tidak sebanyak itu kan, Mba?”
“Hem, untuk apa ya uang sebanyak itu?” Santi ikut penasaran.
“Justru karena itu aku jadi bingung dan penasaran, Mba. Padahal uang ibuku dan uangku belum diganti oleh mas Darman.”
“Uang ibumu dan uang kamu?”
“Benar. Waktu membayar kontrakan rumah pertama kali dan membeli motor, itu kan pakai uang ibuku. Sudah lama belum dikembalikan. Terus uang yang untuk beli mesin penggilingan daging yang baru ini, pakai uangku, Mba. Aku jual perhiasan milikku yang aku beli sebelum menikah. Aku sih nggak pa-pa kalau untuk usaha. Tapi masalahnya di belakangku mas Darman nggak jujur masalah uang.”
“Sabar, Aini. Ini mungkin ujian untuk pernikahanmu. Jika benar, itu tandanya Allah sayang sama kamu. Makanya diberi ujian biar tetap ingat pada Allah. Ujian pernikahan memang bentuknya bermacam-macam, Aini.”