“Assalamualaikum, Bu. Bapak kemana ya kok nggak kelihatan?” Tanya seseorang yang baru saja turun dari mobil bak kepada Aini. “Dan sudah beberapa hari ini kiosnya tutup ya, Bu?” Tanyanya lagi.
Perempuan itu baru saja membersihkan kios siap untuk mulai buka. Hari ini kios milik suaminya buka agak siang. Selama seminggu sebelumnya kios Darman tutup karena mereka semua pulang kampung. Bu Surti, ibu Aini, nenek dari Dimas meninggal dunia.
“Ow, bapak masih di rumah, Pak. Belum selesai menyiapkan keperluan kios. Ini hari pertama kamu mau buka lagi. Seminggu kemarin kami pulang kampung, orang tua saya meninggal. Ada apa ya? Em..maaf, sepertinya bapak juga sudah beberapa kali ke sini ya? Saya lihat pas mau antar anak sekolah sebelum saya ke kios ini.” lanjut Aini.
“Oh, sebelumnya saya ikut berduka ya bu dan maaf jika kedatangan saya mengganggu Ibu. Bapak belum cerita? Saya pegawai dari pedagang yang memasok bahan dan bumbu untuk penggilingan daging ini. Jadi bos saya yang memasok bumbu seperti pala, lada, bawang merah, bawang putih dan lainya untuk bapak setiap hari.”
“Langganan bapak berarti, ya?”
“Benar, biasanya saya datang antar belanjaan sekaligus ambil uang dari barang yang sebelumnya saya antar.”
“Jadi..suami saya langganan bumbu dengan cara bayar terus ambil lagi?”
“Benar sekali, Bu. Sudah jalan beberapa tahun langganan di tempat saya kerja.”
“Kok saya nggak tahu ya, Pak. Setahu saya, suami saya selalu beli bayar kontan untuk semua keperluan kios ini.”
“Nggak, Bu. Sistem bayar ambil.”
“Terus ini mau ambil uang kemarin sama antar pesanan bumbu hari ini?”
“Ada hal lain yang sebenarnya mau saya bicarakan dengan bapak, Bu.”
“Kalau boleh tahu, apa itu Pak?” tanya Aini.
“Saya mau menanyakan pembayaran-pembayaran sebelumnya yang belum diselesaikan sama bapak.”
“Tunggu! Tadi katanya suami saya bayar pesanan hari sebelumnya terus ambil untuk hari ini dan bayar lagi besok? Kenapa bapak mau membicarakan pembayaran-pembayaran sebelumnya?”
“Awalnya memang seperti itu, Bu. Tapi sudah beberapa bulan ini pembayaran bapak tidak lancar, bahkan menunggak banyak.”
“Kalau boleh tahu, berapa jumlahnya?”
“Sekitar 23 juta, Bu.”
“Apa?” Aini nampak sangat kaget. “Apa saya tidak salah dengar? Suami saya punya utang sampai 23 juta? Bagaimana bisa terjadi? Kenapa sampai menunggak sebanyak itu bapak baru mau menanyakan?”
“Sebetulnya sudah lama saya tanya ke pak Darman, tetapi selalu diberi alasan kalau kebutuhannya sedang banyak. Jadi uang kios terpaksa terpakai untuk mencukupi kebutuhan itu. Karena sudah lama langganan, bos saya membolehkan pak Darman tetap ambil bumbu-bumu dari tempatnya meski yang sebelumnya belum dibayar.”
“Duh, saya benar-benar tidak tahu. Suami saya tidak pernah bicara tentang hal ini sama saya.”
“Memang awalnya pak Darman minta ke saya, jangan sampai ibu tahu. Tapi bagaimana lagi karena sudah menumpuk sangat banyak dan pak Darman hanya berjanji terus. Saya juga selalu ditanya sama bos mengenai pembayaran ini.”
“Saya nggak bisa mikir tentang ini. Silakan bapak temui langsung suami saya. Saya juga nggak ngerti dengan apa nanti suami saya melunasi utang sebanyak itu. Di rumah juga tidak ada barang berharga yang bisa diuangkan untuk membayar utang.”
“Tapi, rumah yang ditempati, itu rumah sendiri kan Bu?”
“Rumah? Itu kami ngontrak, bukan rumah sendiri.” Jawab Aini.
“Lho, bapak bilang ke saya kalau itu rumah sendiri. Katanya pembayaran belanjaan tersendat, salah satunya karena uang dari kios digunakan untuk membayar kekurangan rumah itu.”
“Ndak, ndak seperti itu.” Jelas Aini lagi.
Belum sempat bertemu dengan Darman, pria itu pun pergi lagi karena harus segera mengantar pesanan ke langganan lainnya dan berkata akan datang kembali besok untuk menemui Darman sambil mengantar pesanan bumbu seperti biasanya.
Seharian di kios Aini membantu Darman seperti biasanya. Dia berusaha menyembunyikan perasaan kesalnya agar tidak terlihat oleh pelanggan yang bisa membuat mereka tidak nyaman.