“Assalamualaikum Aini, kok sudah dua hari tidak buka kiosnya, apa pulang kampung?” tanya mba Santi melalui pesan singkat ke nomor HP Aini.
“Waalaikum salam, nggak kok mba, aku di rumah. Mas Darman sakit, makanya tidak buka kiosnya. Aku mau buka sendiri, nanti mas Darman nggak ada yang jaga. Kasian kalau ditinggal sendiri. Dan lagi, aku kurang bisa menjalankan mesinnya Mba.”
“Oalah, mas Darman sakit apa?”
“Sakit perut, Mba. Belum tahu kenapa ini.”
“Sudah diperiksakan ke dokter?”
“Belum. Mas Darman nggak mau. Katanya sebentar lagi juga pasti sembuh, tapi ini kok dua hari masih mengeluh saja. Perutnya terasa seperti ditusuk-tusuk katanya.”
“Coba ke dokter, Aini. Biar bisa dipastikan penyakit mas Darman itu apa.” Tutup Santi dari seberang.”
“Ayo, Pak. Kita ke dokter, biar diperiksa dan diobati sakit bapak itu.”
“Hem..bapak takut, Bu.”
“Takut kenapa, Pak.”
“Takut kalau ternyata sakit bapak parah, bagaimana ibu dan Dimas di sini. Bapak kan bertanggung jawab dengan ibu dan Dimas. Bapak kalau lama sakit juga tidak bisa usaha, tidak bisa cari uang, Bu.”
“Jangan pikirkan masalah uang dulu, Pak. Yang penting bapak sembuh. Nanti kalau sudah sembuh baru kita pikirkan usaha lagi.”
“Kalau bapak sakit seperti ini kan tidak ada yang bisa cari uang, Bu. Dari mana biaya hidup kita, biaya berobat dan biaya lainnya? Bapak pikirkan itu, Bu.”
“Biar ibu yang buka kios Pak, sebisa ibu. Semoga kios tetap ramai dan ada untung bisa buat makan dan berobat bapak.”
“Nggak usah, Bu. Menyiapkan kios dan menghidupkan mesin penggilingan daging seorang diri untuk ibu tidak mudah. Belum lagi urusan dengan belanja dan lainnya. Sepertinya lebih baik tunggu bapak sembuh dulu.”
“Ya sudah, ibu antar berobat ya pak, biar cepat sembuh. Bukan masalah jualan dan uang yang ibu pikirkan, tapi kesehatan bapak. Sedih rasanya di perantauan seperti ini, tidak ada saudara, bapak sakit. Pada siapa kita minta pertolongan.”
“Sabar, Bu. Sebentar lagi pasti bapak sehat kembali.”
“Ibu nggak berani merepotkan siapa-siapa. Paling ke mbak Santi. Mau ke mas Darno, nggak enak juga kan, Pak. Tapi, apa kita kabari saja mas Darno”
“Jangan, Bu. Kasian mas Darno atau mba Santi kalau kita repotkan. Biarlah bapak begini, semoga sakitnya cepat hilang.”
Sore harinya Aini pun memboncengkan Darman ke klinik untuk diperiksa. Hasilnya lelaki itu mengalami sakit batu empedu dan harus segera mendapat penanganan serius di rumah sakit besar.
“Maaf Pak, Bu. Di klinik ini peralatannya terbatas, jadi bapak harus mendapat rujukan ke rumah sakit besar. Kami akan segera siapkan surat pengantarnya.” Ucap dokter yang memeriksa sebelum meninggalkan Aini dan Darman.
“Bu, kalau harus ke rumah sakit besar dan operasi, berapa biayanya ya? Bapak ndak punya uang, Bu.” Ucap Darman setelah dokter yang memeriksanya pergi.
“Bagaimana ya Pak. Bapak kan harus segera mendapat pertolongan dokter. Ibu juga tidak punya uang. Bingung juga ibu ini pak, harus bagaimana. Pak, apa tidak sebaiknya bapak hubungi keluarga. Ranto atau siapa yang bisa diminta pertimbangan.”
“Hem…pasti mereka semua juga repot, Bu. Apa mau mereka ke sini.”
“Lha bagaimana Pak? Bukan ibu tidak mau merawat bapak, tapi kalau ada keluarga lain, ada orang yang diminta pertimbangan.”
“Coba bapak hubungi Ranto ya.” Jawab Darman.
“Iya, Pak. Ibu mau ke ruangan dokter dulu untuk menanyakan surat rujukan.” Lanjut Aini.
Aini pun bergegas menuju ruang dokter yang tadi memeriksa Darman.
“Selamat sore pak dokter. Bagaimana dengan suami saya ya pak dokter?”
“Begini bu, dari hasil pemeriksaan kondisi batu empedu bapak sudah cukup besar, jadi tidak bisa disembuhkan dengan sinar laser, tetapi harus dilakukan oeperasi.”
“Apa tidak ada cara lain ya Pak dokter selain operasi?”
“Sebenarnya kalau ukuran batu masih kecil bisa dengan laser, tapi yang ada pada pak Darman ini ukurannya cukup besar. Takutnya kalau dilakukan penyinaran pakai laser pengobatannya tidak tuntas dan bisa menyebabkan gangguan kesehatan lain.”
“Em…kira-kira biayanya berapa ya Pak kalau harus operasi?”
“Di beberapa rumah sakit biaya untuk operasi ini berbeda Bu. Ada yang 20 juta sampai 45 juta.”
“Banyak sekali, Pak. Masalahnya kami ini perantau dan tidak punya uang sebanyak itu. Makanya tadi saya tanya apa ada pengobatan lain.” Ucap Aini.
“Saya belum ada alternatif pengobatan lain, Bu. Nanti jika sudah di rumah sakit besar akan dilakukan pemeriksaan lagi. Siapa tahu ada alternatif untuk menyembuhkan penyakit bapak.”
“Apa harus hari ini suami saya dibawa ke rumah sakit besar dan melakukan operasi?”
“Lebih cepat, lebih baik Bu.” Jawab dokter itu.
“Jika memungkinkan, suami saya sedang menghubungi keluarganya di kampung, semoga ada yang bisa datang, jadi maunya menunggu dulu kabar dari kampung. Masalahnya saya sendiri juga tidak berani mengambil keputusan. Maaf, pak, saya takut disalahkan oleh keluarganya kalau mengambil keputusan sendiri.” Jelas Aini.
“Apa pak Darman tidak mempunyai asuransi BPJS, Bu? Kemungkinan kalau punya kartu BPJS dan dirujuk ke rumah sakit tertentu, bisa mendapatkan penanganan tanpa biaya.” Ucap sang dokter lagi.