Jodoh Aini

Isna Nur Isnaini
Chapter #14

Akhir Jodoh Aini dan Darman

Esok harinya Darman menjalani operasi. Aini nampak bingung dan khawatir dengan keadaan suaminya yang semakin melemah. Beruntung proses operasi berjalan lancar dan Darman segera sadar.

“Bu!” Lirih suara Darman memanggil Aini.

“Ya, Pak. Ibu di sini.” Jawab Aini sambil mengulurkan tangan memegang tangan suaminya.

“Badan bapak rasanya lemas sekali, Bu.” Suara Darman masih sangat lirih.

“Ya wajar, Pak. Namanya juga baru selesai operasi. Mudah-mudahan segera pulih lagi.”

“Bapak pengen pulang, Bu. Bapak kangen Dimas. Bapak pengen pulang ke Wonogiri saja, Bu. Bapak nggak mau lama-lama di sini, mau istirahat di Wonogiri.”

“Sabar, Pak. Dimas baik di rumah mba Santi. Tadi baru saja dia video call pakai HP mba Santi, tapi bapak belum sadar.”

“Bapak pengen ketemu Dimas, Bu. Anak itu pasti juga kangen sama bapak.”

“Pasti, Pak. Kan selama ini bapak tidak pernah meninggalkan Dimas. Pasti Dimas juga pengen segera bertemu, tapo bagaimana lagi. Anak kecil tidak boleh dibawa ke rumah sakit ini Pak. Bapak segera sembuh ya, biar bisa cepat ketemu Dimas.”

“Iya, bapak bosan di sini terus. Bapak pengen segera pulang, cepat jualan lagi, ngumpulin duit lagi, Bu. Terus pulang ke Wonogiri.”

“Yang penting sehat dulu, Pak. Urusan pekerjaan, nanti kita pikirkan kalau bapak sudah sehat.”

Bersamaan dengan ucapan Darman, pintu kamar rawat itu terbuka

“Bagaimana Ratna?” Tanya Darman pada ponakannya itu ketika dia kembali dari ruang dokter.

“Alhamdulillah, Pakde. Kalau kondisi pakde baik terus seperti ini satu atau dua hari lagi sudah boleh pulang.”

“Syukurlah. Pakde sudah tidak betah di sini. Pakde pengen cepat pulang, pengen istirahat di rumah saja, jangan di rumah sakit.”

“Iya Pakde. Pakde jangan banyak pikiran dulu biar cepat sembuh ya.”

“Makasih ya Nduk, kamu sudah mau menemani bude-mu jaga pakde di sini.”

“Sama-sama pakde. Dari kecil kan pakde juga selalu perhatian ke aku. Walau jarang bertemu, pasti kalau pulang pakde langsung cari aku dan ngajak jalan-jalan.” Jawab Ratna lagi.

Dua hari setelah menjalani operasi Darman dibolehkan pulang dan rawat jalan.

“Bapak..!” Teriak Dimas yang melihat Darman turun dari mobil dipapah Darno dan Aini.

“Pelan-pelan Dimas! Bapak masih sakit.” Teriak Aini mengingatkan anaknya itu agar tidak terlalu kuat memeluk Darman.

“Dimas kangen banget, Bu. Nggak ada bapak, Dimas sedih, nggak ada teman main. Biasanya kan bapak sepulang dari kios selalu temani Dimas main dan ajak jalan-jalan.”

“Ya, nanti kalau bapak sudah sembuh kita jalan-jalan naik motor lagi. Sekarang bapak mau istrirahat dulu. Dimas bantu ibu beres-beres rumah ya, sudah lama ditinggal, rumahnya jadi kotor.” Ujar Darman kepada anak sambungnya itu.

Dua hari setelah Darman keluar dari rumah sakit Ratna pamit pulang. “Pakde, Ratna jadi pulang nanti sore ya, ini pakde kan juga sudah mendingan, tinggal pemulihan.”

“Iya, Nduk. Makasih ya, kamu sudah bantu bude untuk jaga pakde.” Jawab Darman ke ponakannya itu.

Satu hari setelah Ratna pulang, kondisi Darman drop. Badannya sangat lemas hingga harus kembali dibawa ke rumah sakit. Aini mencoba menghubungi keluarga Darman di Wonogiri. Dari beberapa nomor yang dihubungi hanya Ranto yang merespon.

“Bagaimana, Mba? Kok bisa sakit lagi. Kan katanya sebelum Ratna pulang, mas Darman sudah membaik bahkan sudah bisa jalan ke depan rumah?” tanya Ranto.

“Aku nggak tahu dek, ini mas kamu badannya lemas sekali. Ini aku bawa ke Pusekesmas, katanya harus ke rumah sakit lagi.”

“Oalah kok ya bisa gitu to mba.”

Dan ini Dek, mas Darman selalu menanyakan bapak dan ibu. Apa bapak dan ibu bisa ke sini ya?”

“Aku bisa bicara dengan mas Darman?” tanya Ranto.

Aini kemudian menyerahkan HP kepada suaminya, “Ranto mau bicara, Pak.” Ucap Aini.

“Assalamualaikum, Dek.” Suara Darman sangat lemah.

“Gimana, Mas? Kata Ratna sudah membaik, kok suaramu lemas gini to mas?”

“Iya Dek. Ini rasanya sakit banget. Kayaknya mas nggak kuat lagi dek. Aku pengen pulang saja Dek. Sakit sembuh di rumah, dekat sanak saudara. Di sini seperti ini kondisinya. Aku pengen dekat ibu sama bapak.”

“Mas, kalau pulang, pertama kan katanya dokter tidak boleh. Terus yang kedua, biayanya mas. Mas Darman tidak mungkin pulang naik bis, perlu carter ambulan dan itu biayanya tidak sedikit lho mas.”

“Hem, piye Dek” lirih suara Darman sambil mengembalikan HP kepada Aini.

“Bu, bapak pengen pulang, tapi bagaimana biayanya. Kata dek Ranto harus sewa ambulan dan biayanya mahal.” ucap Darman pada istrinya.

“Sabar, Pak.” Aini coba menghibur. “Halo dek, bagaimana? Ini mas Darman pengen pulang terus.” Lanjut Aini bicara di HP dengan Ranto.

“Hem..aku coba rembukan sama saudara yang lain dulu ya mba.” Ranto kemudian menutup teleponnya.

Lihat selengkapnya