Seminggu setelah meninggalnya Darman, HP suami Aini itu berdering. Sebuah pesan singkat masuk. “Maaf ibu, apakah ini dengan istri almarhum pak Darman?”
“Benar,” jawab Aini. “Maaf ini dengan siapa?” Aini balik bertanya.
“Saya pemasok bumbu yang mengirim bumbu untuk kios pak Darman. Maaf, apakah saya sudah boleh menyampaikan mengenai sangkutan pak Darman ya, Bu.”
“Maaf sekali bapak, kalau boleh tahu, berapa total utang almarhum suami saya?”
Totalnya 23,6 juta bu. Semua rincian catatan ada pada kami. Nanti bisa saya kirim ke ibu.”
“Hem gimana ya Pak, bukan saya tidak mau tahu tentang utang suami saya, tapi saya sendiri juga tidak punya uang sebanyak itu. Karena waktu di Bekasi, saya hanya bantu-bantu saja. Usaha itu punya suami. Mungkin bapak juga tahu dari pegawai yang selalu datang ke kios.”
“Benar, Bu. Mengenai hal itu saya tahu. Cuma saya kan tidak bisa menghubungi siapa-siapa setelah bapak meninggal. Sementara utangnya kan tentu juga harus diselesaikan.
“Begini saja, Pak. Saya kasih nomor keluarga almarhum. Nanti bapak bisa langsung hubungi mereka, kebetulan setelah pemakaman saya pernah singgung mengenai hal ini ke mereka, Pak.
“Waduh, kok begini ya Bu. Urusannya jadi rumit. Saya kira semua bisa diselesaikan dengan ibu saja.”
“Bapak mohon maaaf. Sejak pertama utang sampai numpuk 23 jutaan itu, saya tidak pernah dikasih tahu lho. Saya tahu mengenai masalah bumbu pas sebelum almarhum sakit. Waktu itu ada yang datang cari suami saya dan nagih uang pas saya di kios.”
“Ya karena memang keinginan almarhum seperti itu, Ibu. Katanya beliau tidak ingin istrinya tahu dan ikut memikirkan utang. Makanya pegawai saya yang ke sana juga tidak pernah membicarakan masalah utang di depan ibu. Baru setelah numpuk dan pembayaran tidak lancar, mereka bicara ke ibu.”
“Nah karena itu saya jadinya tidak tahu harus bagaimana. Bukannya saya lepas tangan, Pak. Tapi utang itu sangat banyak. Sementara saya saja sekarang tidak tahu bagaimana melanjutkan hidup, bagaimana memberi makan anak saya, apalagi dengan beban utang sebanyak itu.”
“Terus kira-kira dengan siapa lagi ya bu saya bisa berdiskusi mengenai sangkutan almarhum ini.”
“Pak, mohon maaf bukannya saya ingin menceritakan masalah keluarga, posisi sekarang ini saya dimusuhi oleh keluarga almarhum karena dikira menguasai hasil usahanya. Bahkan saya sudah dianggap bukan siapa-siapa lagi bagi mereka. Mungkin bapak bisa menghubungi nomor adik dan ponakan almarhum. Sebentar saya kirim”
Aini pun kemudian mengirim nomor Ranto dan Ratna ke orang yang meneleponnya.
“Semoga mereka bisa mencari solusi ya, Bu. Biar sama-sama enak.” Ucap orang itu menutup telepon.
Tidak lama kemudian HP Aini berdering. Di layar tertulis nama Ratna. “Hem, ngapain anak itu?” Batin Aini. Dengan malas diterimanya panggilan telepon itu.
“Apa maksud kamu memberi nomor ku dan nomor pakde Ranto ke orang yang ngaku pemasok bumbu di kios pakde Darman? Bukannya kamu yang menguasai uang hasil usahanya? Kenapa giliran ada utang kamu limpahkan ke kami? Kamu benar-benar tidak tahu diri.” Ucapan Ranta dengan nada tinggi.
“Ratna, bukannya kamu yang bilang bahwa mulai detik setelah pemakaman mas Darman, aku bukan bagian dari keluarga kalian lagi dan tidak boleh ikut campur urusan kalian? Nah, benar kan kalau urusan mas Darman kemudian aku minta urus langsung ke kamu dan keluargamu?” Jawab Aini tidak mau kalah.
“Alah kamu memang serakah. Pakde-ku pasti menderita selama menikah sama kamu.” Ketus suara Ratna.
“Kalau bisa, coba tanya pada pakde-mu seperti apa sikapnya sama aku, terutama masalah keuangan yang kamu tuduhkan itu. Kalau aku ini jahat, aku minta kalian untuk mengembalikan uang ibuku dan juga perhiasan yang uangnya dipakai almarhum karena dulu bilangnya utang.”
“Kamu jangan ngarang, kamu jangan fitnah pakde-ku. Pakde Darman orang yang sangat royal. Pada kami dan anaknya, pakde selalu perhatian. Apa pun yang diminta Kasih juga selalu diberi. Tidak ada ceritanya pakde-ku pelit dan senang memakai uang orang sembarangan.”
“Kalau masalah royal, aku percaya. Tidak hanya pada kamu dan anaknya, bahkan pada mantan instrinya saja yang sudah tidak ada sangkutan, pakde-mu royal. Itu buktinya kirim uang sampai 14 juta. Untuk apa coba?”
“Aku tidak yakin kamu tidak tahu masalah dengan pemasok bumbu itu. Pasti kamu menutupi sesuatu. Atau jangan-jangan kalian bekerja sama?” Tuduh Ratna pada Aini.
“Coba kamu tanyakan ke pemasok bumbu itu, apa aku tahu sejak awal? Masalah bumbu aku baru tahu menjelang pakde-mu sakit. Pakde-mu sudah mulai nggak bayar cicilan, makanya pegawai pemasok itu menemui aku untuk bicara masalah utang. Aku tidak mau lah. Utang aku tidak diberi tahu, pas tidak mampu bayar karena banyak uang yang dikirim ke orang lain, aku harus bertanggung jawab.”
“Utang itu kan pas kamu jadi istrinya, ya kamu harus ikut bayar lah. Enak saja, 23 juta harus keluarga kami yang bayar.” Jawab Ratna.
“Kenapa aku kamu minta untuk ikut bayar? Pertama aku tidak ada uang karena selama lima tahun menjadi istri pakde-mu aku tidak tahu mengenai uang usaha, semua pakde-mu yang pegang. Kedua, aku dulu memang istrinya tapi bukankah sudah kamu keluarkan dari keluar besar kamu itu. Bukannya baru beberapa hari lalu kamu bilang, aku tidak ada urusan apa pun dengan keluarga mas Darman?”
“Jangan lepas tanggung jawab!” Hardik Ratna pada Aini.
“Aku tidak lepas tanggung jawab, tapi memang kamu kan yang sudah memaksa aku untuk tidak peduli dengan urusan almarhum. Habis ini kalau ada lagi yang menagih utang atau urusan lain dengan mas Darman, ya akan aku minta menghubungi kamu dan keluarga kamu yang lain, karena aku sudah kamu minta untuk tidak lagi ikut campur urusannya.”
Selesai panjang lebar Aini bicara, Ratna memutus sambungan telepon. Ponakan Darman itu sepertinya terjebak dengan sikapnya sendiri. Namun bagi Aini justru diuntungkan, dia bisa langsung meminta orang yang ada sangkutan dengan Darman untuk menghubungi keluarga Darman.
Aini menarik napas panjang untuk membuat rongga dadanya terasa sedikit lega. Sikap ponakan Darman terhadapnya benar-benar sudah menguras emosinya. Di lain sisi, Aini juga merasa kasin dengan almarhum Darman. Walau bagaimana lelaki itu sudah menemaninya hidup dan menghidupinya selama limat tahun pernikahan mereka.
“Hem, bagaimana ya, Pak? Ibu tahu, utang harus dibayar dan dibawa mati. Utang bapak entah untuk apa dan bagaimana ceritanya sampai begitu banyak, memang seharusnya diselesaikan oleh yang masih di dunia. Tapi dari mana ibu mendapat uang sebanyak itu untuk bayarnya? Semula ibu berharap bisa bicara dengan keluarga bapak untuk menyelesaikannya. Tapi sepertinya itu tidak mungkin. Ibu bingung, Pak. Walau ibu sakit hati, tapi bapak tetap suami ibu. Ibu tetap peduli.”
Di tengah kegundahannya, Aini sangat bingung pada siapa harus bercerita dan minta saran. Ibu, Aini sudah tidak punya. Pada lik Kasno dan lik Kasno juga tidak mungkin. Walau bagaimana, lik Kasno adalah adik dari orang tua Darman. Ada kemungkinan saat ini posisinya serba susah mau membela siapa. Sana dan sini sama-sama saudara. Aini juga tidak mau masalah ini nantinya justru akan membuat renggang hubungan dengan paklik yang sudah dianggapnya sebagai bapak sendiri itu.