Hari ke tiga di Bekasi, Aini masih bingung. Mau melanjutkan usaha di kios, sepertinya tidak mungkin. Menjalankan mesin dengan menyiapkan semua keperluan kios sendirian, sepertinya sangat berat. Belum lagi menghadapi masalah utang Darman.
Siang itu, Aini baru saja selesai salah Dzuhur saat HP miliknya berdering. Sebuah nomor yang tidak tersimpan di HPnya muncul. “Halo!” hati-hati Aini menjawab panggilan dari Seberang.
“Ya, hallo Mba Aini. Ini saya, Bandi, paman dari Ana, mantan istri Darman. Benar kan ini mba Aini?” Tanya suara di seberang.
“Benar, ada perlu apa ya, Pak?” Tanya Aini.
“Mba Aini sudah di Bekasi?” Lelaki itu balik bertanya.
“Sudah,” jawab Aini.
“Apa waktu di Wonogiri mba Aini ketemu dengan Ana?”
“Ow Ana mantan istri mas Darman? Iya ketemu tapi tidak sempat banyak bicara dengannya. Maaf, saya tidak ada urusan dengan dia.” Lanjut Aini.
“Mba, ada hal penting yang perlu aku sampaikan mengenai kios penggilingan daging.”
“Maksudnya kios penggilingan daging milik suami saya?”
“Ya, mana lagi? Kios penggilingan daging itu sebenarnya bukan punya Darman. Itu punya saya.”
“Punya bapak? Maksudnya.”
“Maksudnya Darman sudah tidak punya hak apapun dengan kios dan semua isinya, termasuk semua mesin penggilingan daging.”
“Bapak jangan mengada-ada. Sejak pertama saya datang, kios itu yang mengurus semuanya suami saya dan saya diajak untuk membantu dan membesarkannya. Kenapa setelah suami saya meninggal, bapak mengaku itu milik bapak?”
“Darman tidak pernah cerita pada kamu?”
“Cerita apa?”
“Cerita tentang pernikahanya dengan Ana dulu, dan juga mengenai harta dan utangnya.”
“Mas Darman tidak pernah cerita dan saya tidak pernah tanya karena itu masa lalunya.”
“Nah, sekarang, biar saya yang cerita. Jadi sewaktu menikah dengan Ana, banyak masalah yang terjadi. Awalnya Darman belum sukses kemudian saya bantu modali agar menjalankan usaha sampai bisa membeli mobil dan rumah. Namun setelah itu, hubungan Darman dan Ana bermasalah.”
“Yang saya tahu Ana selingkuh, hamil dengan selingkuhannya kemudian diceraikan oleh mas Darman.”
“Soal selingkuh atau tidak, yang pasti mereka bercerai dan Ana menikah lagi. Sesuai kesepakatan, Ana mendapat rumah dan mobil. Namun saat pernikahan itu, ada masalah. Ana terlilit utang yang jumlahnya cukup banyak. Utang itu baru diketahi Darman setelah mereka bercerai dan setelah semua harta diberikan kepada Ana.”
“Lalu, apa hubungannya dengan saya?” Tanya Aini lagi.
“Karena utang itu terjadi saat mereka masih nikah, Darman masih harus bertanggung jawab untuk membayarnya. Waktu itu, Darman tidak punya uang lagi karena setelah perceraian itu usahanya sepi sampai bangrut. Utang-utang itu saya yang membayar, jumlahnya 120 juta.”
“Pastinya bukan urusan saya kan, Pak?”
“Memang Aini, semua itu urusan Darman, tapi sekarang ada kaitannya dengan kamu.”
“Maksudnya, saya yang harus membayar utangnnya?”
“Tidak Aini. Darman sudah membuat kesepakatan jauh sebelum sakit. Semua isi kios itu adalah jaminan untuk membayar utangnya pada saya.”
“Jadi?”
“Ya, isi kios Darman, termasuk mesin-mesin penggilingan daging itu semua secara tidak langsung sudah menjadi milik saya sesuai perjanjian Darman. Karena Darman sudah tidak ada, jadi saya berencana untuk mengambil alih semuanya.”
“Mengambil alih?”
“Benar, sejak meninggalnya Darman, usaha itu menjadi milik saya.”
“Ini..ini..bagaimana?” Kepala Aini tiba-tiba menjadi pusing. Dia tidak menyangka akan mendapat kabar seperti itu. Pikiran Aini benar-benar kalut. Kepala Aini terasa pusing dan tidak tahu harus bagaimana. Aini mencubit tangannya, terasa sakit. Itu artinya dia tidak sedang bermimpi.
“Hallo Aini, Hallo.” Suara Pak Bandi di seberang nyaris tidak terdengar oleh Aini.
“Ya Pak.” Suara Aini lirih.
“Bagaimana Aini?”
“Saya belum bisa memikirkan, Pak.”
“Ya sudah, tidak apa-apa. Aku tahu kamu pasti kaget, tapi bagaimana lagi. Aku harus menyampaikan semua informasi ini. Em.. mungkin beberapa hari lagi orangku akan datang ke kios untuk mulai menata lagi dan menjalankan usaha itu. Lalu, kamu sendiri, apa rencanamu selanjutnya?”
“Saya belum tahu, Pak.”
“Begini Aini, kalau kamu mau, kamu boleh kerja di situ untuk bantu-bantu.”
“Nanti saya pikirkan. Jujur, saya tidak percaya dengan yang baru saja bapak katakan. Mengenai usaha almarhum, saya juga merasa ikut modali. Almarhum beli mesin pakai uang saya. Bagaimana bapak bilang semua punya bapak?”
“Kalau kamu kira aku mengada-ada, kamu boleh tanya pada Darno. Aku juga mengenalnya. Sewaktu membuat perjanjian itu, Darno ada dan ikut menyaksikan. Begitu juga mengenai uang untuk pembelian mesin yang terakhir itu, semua pakai uang dari aku Waktu itu aku pikir, dengan menambah modal keuntungannya akan meningkat, makanya aku setuju.”
“Terserah bapak mau bilang apa, yang pasti saya ada hak di usaha almarhum itu. Bukan hasilnya, tapi modal yang saya berikan. Itu milik saya, hak saya.”
“Begini saja, aku tidak mau panjang lebar berdebat karena toh kita sama-sama tidak bisa minta kejujuran dari Darman karena sudah tidak ada. Aku akan kasih kamu lima juta. Kamu anggap sebagi ganti rugi atau pengembalian uang kamu yang untuk beli mesin, terserah. Ucap lelaki itu sebelum menutup telepon.”
Selesai menerima telepon, Aini merasa tubuhnya sangat lemas. Dia tidak menyangka dengan kabar yang diterimanya.
“Duh Gusti, apa lagi ini? Kenapa ujian datang bertubi-tubi?” Lirih suara Aini di sela isak tangisnya. “Ibu, bagaimana nashi Aini dan Dimas, Bu? Jika ibu masih ada, pasti Aini sudah pulang, cerita dan menangis di pangkuan ibu. Pak, kamu tega banget sama ibu, Pak. Jahat kamu pak. Kenapa ketika masih ada, kamu tidak pernah cerita semuanya ke ibu?”
Perempuan itu tidak tahu harus bagaimana, perasaannya benar-benar kacau. Kios dan isinya yang sebelumnya menjadi harapan, kini pun harus dia lepaskan. Di perantauan Aini tidak punya siapa-siapa dan tidak punya apa-apa lagi.
“Mas Darno, ya mas Darno adalah kunci yang bisa menjadi petunjuk untuk membuka semuanya.” Aini sebenarnya tidak yakin bahwa kios dan semua isinya itu bukan milik Darman. Perempuan itu kemudian menghubungi Darno.
“Hallo Mba, ada apa ya?”
“Maaf, Mas. Apa sedang sibuk, aku pengen ketemu, Mas. Ada hal penting yang mau aku bicarakan.” Ucap Aini.
“Waduh, aku sedang tidak di rumah Mba. Aku masih di luar kota. Besok baru pulang. Besok kalau sudah sampai, langsung aku hubungi sampean.
Semalaman Aini sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Dia mereka-reka apa yang akan dilakukan selanjutnya. “Bagaimana ini? uangku sudah terlanjur habis untuk ke sini. Sementara ternyata di sini aku tidak mempunyai apa-apa selain isi rumah yang berupa perabot. Di rumah ini yang bisa dijual hanya kompor gas, tabung gas, dispenser dan magic com. Isi rumah lain, punya pemilik rumah yang dipinjamkan.”
Aini membolak-balikkan badannya, namun rasa kantuk belum juga datang.
“Ibu nggak tidur?” Dimas bangun dan melihat ibunya belum terlelap.
“Belum, Dimas boboklah. Besok kan Dimas harus sekolah.”
“Iya, Dimas masih kangen sama teman-teman. Belum puas ketemu dengan mereka.”
“Hem..ya sudah, bobok! Besok berangkat sekolah pagi-pagi biar bisa main dengan teman-teman lebih lama!” ucap Aini sambil mengelus kepala anak itu.
Baru saja matanya mau terpejam, ada telepon masuk. “Ratna, mau apa lagi anak itu?” Batin Aini.
“Halo,” ucap Aini membuka percakapan.
“Bagaimana kamu ini. ini urusan pakde kenapa belum selesai juga. Kamu tahu? Orang yang katanya juragan bumbu itu menelepon terus, minta urusannya diselesaikan. Kamu bagaimana? Jangan lepas tangan!”
“Lepas tangan katamu? Jaga omongan kamu! Urusan itu bukan urusanku. Bukankah kamu yang bilang bahwa aku tidak ada urusan dengan keluargamu dan almarhum? Ya urus sendiri lah semua!”
“Kamu yang selama ini sama pakde. Kalau sampai punya banyak utang, pasti dulu kamu ikut menikmati. Apa salah jika sekarang aku juga minta kamu untuk tanggung jawab?”
“Tanggung jawab? Kamu mintalah tanggung jawab sama mantan bude-mu, ibunya Kasih itu! Bukankah malah dia yang menikmati uang pakde-mu. Bahkan sampai sekarang, ternyata pakde-mu masih punya utang lebih dari seratus juga pada paman Ana. Kemana dan untuk apa dulu uangnya sampai pakde-mu yang sudah dikhianatinya pun masih harus menanggung utangnya.”
“Apa-apaan lagi ini? Utang apa lagi?” Suara Ratna meninggi.
“Kamu benar-benar tidak tahu? Coba kamu tanya pakde Ranto kamu atau tanya langsung ke Ana. Untuk apa dulu utang almarhum yang sampai jumlahnya 120 juta ke paman Ana itu. Asal kamu tahu, sekarang kios pakde-mu dan semua isinya sudah diminta sama pamannya Ana karena menjadi jaminan utang.”
“Ngarang kamu! Jangan menjelek-jelekkan bude Ana dan pakde-ku!”
“Kamu tanya saja sama Ana sekarang! Aku mau tidur, masih banyak urusan yang lebih penting yang harus aku selesaikan.” Aini kemudian mematikan HP nya.
Kapala Aini benar-benar terasa sangat berat dan sulit untuk terpejam. Perempuan itu kemudian ke kamar mandi untuk wudhu dan mengambil mukenanya. Di tengah malam itu, dia tumpahkan semua isi hatinya. Kenangan demi kenangan sejak kecil, tergambar jelas.
Perempuan itu hanya sebentar menikmati kebahagiaan. Selanjutnya, masa remajanya harus dia isi dengan kerja keras. Di masa belia, perempuan itu sudah memutuskan untuk menikah. Banyak yang berharap kehidupannya akan membaik setelah menikah, namun ternyata ujian demi ujian hidup silih berganti datang. Karena kelelahan meratapi nasibnya, perempuan itu pun tertidur masih dengan mengenakan mukena.
Esoknya setelah mengantar Dimas sekolah, Aini kembali ke kios. Ada rasa sedih yang tidak terbendung. Di kios ini selama lima tahun Aini menemani suaminya, Darman, mengais rejeki. Banyak suka duka yang ada. Aini menyapukan pandangannya. Dua mesin penggilingan daging berukuran besar dan mesin penggiling bumbu yang biasa digunakan untuk bekerja, terlihat tidak terurus.
Sejak hari pertama Darman sakit, sampai akhirnya meninggal, baru kemarin kios ini dibuka. Kemarin pun Aini belum selesai membereskan kios itu karena sudah terlanjur ada penagih utang yang datang. Sorenya, mendapat telepon dari paman mantan istri Darman yang menyampaikan kabar yang tidak kalah membuatnya kaget.
Aini membereskan beberapa barang. Pisau, wadah bumbu dan perabot lainnya dibersihkannya. Aini sudah tidak yakin akan bisa kembali menjalankan usaha ini, tapi dia ingin meninggalkannya dalam keadaan bersih. Saat sedang sibuk, tiba-tiba HP nya berdering.
“Hallo, Mba. Aku sudah sampai. Ini aku ke rumah sampean.” Ucap Darno yang ada di Seberang.
Aini kemudian meninggalkan pekerjaannya membereskan kios dan bergegas pulang.
“Lho Aini! Sudah mau buka lagi kiosnya? Tanya ibu pemilik kios yang ada di sampingnya.
Dari kemarin Aini belum sempat menemui tetangga kios itu, juga belum datang ke kios Santi. Aini hanya memberi kabar ke Santi kalau dirinya sudah kembali tetapi belum membuka kios.
“Belum, Bu. Ini baru mau aku bersihkan, tapi rupanya di rumah ada tamu, jadi aku mau pulang lagi.”
“Ya sudah, Aini. Sabar ya.” Ibu itu melihat raut sedih di wajah Aini. “Memang tidak mudah kehilangan suami dan kembali keperantauan hanya dengan anak.” Ucapnya.
“Iya, Bu.”Aini menjawab pendek. Perempuan itu tidak mau bercerita mengenai segudang beban yang ada di pikirannya. Tidak lama kemudian, Aini sudah mengendarai motornya menuju ke rumah kontrakan.
Sampai di kontrakan, Darno sudah menunggu di depan pintu yang masih tertutup.
“Ada apa to, Mba. Sepertinya ada yang sangat serius?” tanya Darno.
“Mas, ada yang ingin aku tanyakan. Aku yakin, sampean tahu banyak mengenai hal ini, makanya aku ingin bertemu dan bicara langsung.” Ucap Aini.
“Tentang opo to Mba?” Tanya Darno. Dari raut mukanya sepertinya lelaki itu sudah bisa menebak apa yang akan dibicarakan Aini.
“Begini, Mas. Apa sebenarnya Mas Darno tahu tentang kios mas Darman?”
“Kios, kios di pasar sini kan? Yang biasanya untuk usaha gilingan daging?”
“Benar, Mas. Mana lagi kalau bukan itu?”
“Lha memangnya kenapa, Mba? Apa Mba Aini mau buka dan lanjutkan usaha mas Darman?”
“Sebelumnya aku memang kepikiran seperti itu, Mas. Tapi apa mungkin?”
“Hem..” Darno hanya menarik napas panjang.
“Jujur saja, Mas. Pak Bandi sudah ngasih tahu aku mengenai kios itu.”
“Pak Bandi, paklik-nya Ana?”
“Ya. Pak Bandi kemarin telepon aku dan ngasih tahu semuanya. Pak Bandi juga bilang agar aku tanya ke sampean kalau tidak percaya.”
“Ya, Mba. Apa yang disampaikan Pak Bandi benar. Aku menyaksikan sewaktu mas Darman bicara dengan pak Bandi tentang utang-utangnya.”
“Heran aku, yang habisin uang kan ponakannya, ini kok aku ikut merasakan akibatnya.”
“Masalahnya, waktu itu kan status Ana masih istri mas Darman. Jadi utang-utangnya menjadi tanggungan mas Darman.”
“Harusnya dipisahin Mas. Mana yang punya mas Darman dan mana yang punyaku. Kalau harta mas Darman untuk bayar utang, ya monggolah. Urusan dia dengan keluarga mantan istrinya itu. Nah, aku kan juga pernah menjadi istrinya, aku juga punya hak seharusnya dengan harta yang diperoleh selama menikah dengan aku.”
“Seharusnya memang begitu, Mba. Tapi mas Darman yang salah, tidak terbuka. padahal dari awal aku sudah sampaikan agar jujur ke sampean. Itu sudah aku bicarakan beberapa hari setelah sampean dan Dimas pertama datang ke sini dulu.”