"Sebenarnya adalah suatu hal yang berat jika harus berpisah dengan keluarga. Tapi perjalanan menuntut kami untuk mandiri. Biarkan rindu mengalir deras hingga air mata terkuras. Pura-pura betah adalah suatu hal yang lumrah".
Hari itu adalah hari Jumat, hari yang ditunggu-tunggu santri Pondok Pesantren Al-Iman. Bagaimana tidak ditunggu? Setelah 40 hari menjadi santri, baru Hari Jumat ini boleh disambang (dijenguk). Orang-orang yang menjenguk juga harus membawa kartu mahrom, jadi tidak semua orang bisa keluar masuk pondok pesantren dengan sembarangan.
Sofia Latifatul Jauharo' atau biasa dipanggil Ophi merupakan salah satu santri baru yang menanti sambangan dari keluarganya. Ia mulai terlihat gelisah ketika beberapa temannya dipanggil satu persatu ke ruang tamu untuk bertemu keluarganya. "Ophi, kamu nggak disambang?" Tanya Laras, salah satu santriwati asal Kebumen. Ophi menggeleng lemas sambil melipat pakaiannya. "Lha piye, opo gak ono sek teko babarblas?" (Lha gimana, apa nggak ada yang datang sama sekali?), Tanya Endah. "Kirangan, Ophi nggih mboten ngertos". (Kurang paham, Ophi juga nggak tau). Jawab Ophi. "Nggak usah sedih loe, gue juga nggak ada yang jengukin. Yang penting kan cuan ngalir terus". Kata Mella, sambil memainkan jari telunjuk dan ibu jarinya. Mella merupakan santri asal, dia dipondokkan karena orang tuanya sudah kewalahan dengan kelakuannya.
Saat Ophi masih sibuk menyusun pakaian di lemari, tiba-tiba seorang anak tetangga kamar menghampirinya. Mbak Ophi, sampeyan disambang. Speaker di kantor mati barusan, makanya nggak dipanggil". Kata anak itu. Tanpa mengucapkan terimakasih, Ophi langsung mak brebet (lekas-lekas) berlari ke kantor putri. Di jalan, air matanya sudah mau tumpah, tapi ia berusaha menahannya.