"Pernikahan bukanlah sekedar menerima ia yang segera datang".
Hari itu adalah Hari Rabu awal Bulan April. Dimana semua santri pondok pesantren Al-Iman pulang lebih awal karena akan ada pengajian untuk guru dan karyawan bersama pengasuh, Kiai Salman. Sudah menjadi jadwal rutin di pondok pesantren Al-Iman, tidak hanya santri yang wajib ngaji. Akan tetapi guru dan karyawan juga dibekali dengan pelajaran agama. Kiai Salman merupakan sosok yang disiplin dan tidak ingin orang-orang yang bekerjasama dengannya lalai dalam hal agama karena terlalu sibuk bekerja.
Beberapa santri terlihat tidur-tiduran di kamarnya dan sebagian lagi di aula pondok. Kesempatan pulang sekolah lebih awal tentu tidak disia-siakan oleh para santri. Aktivitas tiduran, rebahan, ngobrol ngalor-ngidul sambil ngemil merupakan aktivitas favorit untuk melepas penat dan sejenak melupakan seabrek kegiatan yang harus dijalani. Untuk golongan santri rajin dan tidak mau menyia-nyiakan waktu, momen pulang lebih awal justru dimanfaatkan untuk mencuci pakaian, menyetrika, merapihkan lemari, bahkan muthola'ah hafalan kitabnya. Mereka golongan santri rajin akan mencari tempat sendiri-sendiri senyaman mungkin.
Ophi yang notabene adalah santri setengah-setengah memilih mengisi waktu luangnya dengan membaca buku sambil ngemil dan sesekali nimbrung obrolan teman-temannya. Rata-rata penghuni kamarnya adalah santri kurang rajin bahkan terkadang kurang ajar dengan pengurus meskipun ada beberapa yang rajin dan ta'dzim. Ophi sebagai sosok yang paling netral diantara teman-temannya ditunjuk menjadi ketua kamar. Bahkan banyak dari teman-temannya yang menjadikan Ophi sebagai "psikiater dadakan" karena saran-saran jitunya dalam memecahkan masalah selalu membuat teman-temannya lega.
Laras, Mella, dan Endah duduk di dekat Ophi. Mereka sedang membicarakan kegiatan di kelasnya masing-masing.
"Hei, kalian tahu guru sosiologi yang baru itu?" Tiba-tiba Mella nyeletuk soal guru yang ditabrak Ophi. Laras melirik sekilas ke arah Ophi, tapi Ophi tidak bergeming.
"Iya tau banget. Tadi juga masuk kelasku, kok" Endah berkata sambil menyodorkan sebungkus biskuit Roma yang sudah dibuka, jajanan murah meriah ala santri.
"Gila, lu tau kan.... Pak Fauzi itu tampan berlian..... Senyumnya manis, wajahnya bersinar. Tadi gue disapa pas di jalan, gilaaaa beghhhhh cakep parah! Coba aja yaaaa coba aja kalau dia masih bujang!" Mella dengan hebohnya mengagumi ketampanan guru baru itu. Laras melirik Ophi lagi, memastikan teman sebangkunya di kelas itu baik-baik saja. Ophi membalas lirikan Laras dengan bibir merat-merot.
"Emang kenapa Mel kalau Pak Fauzi masih bujang?"
"Gue incar biar gue nikah sama dia. Ibadah tiap malam juga betah gue.... Tahajud dan terus-terusan sujud pokoknya!"
Ophi yang baru saja memasukkan sepotong biskuit Roma tiba-tiba tersedak. Ia buru-buru keluar kamar dan mengeluarkan makanan dalam mulutnya di tempat sampah. Kalimat Mella barusan membuatnya kaget. Sebenarnya Ophi juga tidak tahu, perasaannya tidak suka ketika Mella mengatakan menyukai Pak Fauzi dan ingin menikah dengannya. Dibelakangnya Laras menyusul Ophi.
"Mbak, mbak Ophi kenapa sih? Mbak Ophi jeulous, ya? Cieee"
"Hisss kamu itu apa-apaan! Nggak lah, sorry jeulous sama guru begitu. Kamu ada-ada saja, Ras".
Ophi segera masuk kamar lagi. Ia tidak ingin meladeni Laras karena takut perasaan anehnya ketahuan. Ophi berusaha bersikap wajar ketika kembali di depan teman-temannya. Ia tidak ingin perasaan aneh yang belum ia ketahui itu lebih dulu ketahuan teman-temannya.