"Sebenarnya pertemuan bukanlah hal yang menakutkan. Tapi beberapa pertemuan bukanlah kisah terbaik untuk cerita kita di lembar selanjutnya"
Juli, bulan kembalinya santri Al-Iman pada kegiatannya lagi. Waktu libur yang dirasa cukup harus segera ditutup. Tentunya mereka tidak berangkat ke pondok dengan tangan kosong. Sebuah kardus atau bahkan beberapa kardus berisi makanan ditenteng dengan begitu bangganya. Di kalangan santri makanan yang dibawa dari rumah biasa disebut "IN", entah apa kepanjangannya. Akan tetapi sudah turun temurun hampir di pondok manapun menyebutnya begitu.
Ophi berjalan lemas saat keluar dari mobil. Abah sengaja menyibukkan diri agar tidak mengantarkan ia berangkat ke pondok. Mas Bayu dilarang Abah mengantarkan Ophi ke pondok. Kenapa? Karena Ophi harus berangkat ke pondok diantarkan oleh Mas Huda, putra Kiai Yusuf yang akan dijodohkan dengannya.
"Sesekali kamu boleh jalan berdua sama Mas Huda. Biar kenal, biar akrab, biar tidak kaku"
"Tapi Ophi mboten remen, Bah" (Tapi Ophi tidak suka, Bah"
"Dhawuh Abah kok dibantah! Kurang apa Mas Huda? Dia mondok dari kecil, berasal dari kalangan keluarga Kiai juga. Kurang ganteng? Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Menikah itu karena agama, harta, dan rupa. Setidaknya agama dan harta dia bisa diandalkan meskipun tidak untuk rupanya. Anak kok susah sekali diberi arahan!"
Kalimat Abah masih terngiang-ngiang di benak Ophi. Ia benar-benar merasa tidak nyaman dengan Mas Huda. Entah mengapa juga ia tidak tahu. Bukankah sekarang bukan jamannya Siti Nur Baya lagi? Apakah perjodohan masih berlaku? Haruskah rasa terimakasih Abahnya dibalas dengan menjodohkan putrinya, Ophi? Ah, lagipula Abah tidak mau tahu dan tidak mau mendengar alasan Ophi. Bagi Abah sekali dhawuh tetaplah dhawuh. Seolah apa yang dikatakan itu "sabda pandhita ratu" yang harus dipatuhi oleh siapapun. Pantas saja selama ini Mas Bayu memilih tidak terlalu dekat dengan Abah.
Sampai di depan pondok, Mas Huda tidak diperbolehkan masuk. Ia harus menunggu di ruang tamu bersama pengantar yang lainnya. Ophi menenteng dua buah kardus dan sebuah tas gendong lengkap dengan wajah masamnya. Teman-temannya yang sudah lebih dulu berada di pondok menyambutnya dengan meriah.
"Mbak Ophi, Ya Allah... Kangen banget, pengen curhat banyak"
"Hei, aku juga kangen sama kalian. Nanti kita curhat-curhatan banyak hal wes.”
"Eh, Ophi. Muka lu jelek amat. Sakit lu? Apa sedih?"