“Langit yang cerah tidak pernah menjanjikan kisah yang indah. Kita hanya diharuskan untuk menyelesaikan setiap masalah”
Pagi yang cerah memperlihatkan deretan awan putih untuk unjuk gigi. Langit membiru seolah mengabarkan sebuah pesan pada seluruh makhluk di bumi “Hari ini akan indah, seindah warnaku di pagi hari”. Tak kalah dengan lukisan Tuhan di langit pagi, bunga desember yang tidak semestinya ada di Bulan April ikut-ikutan mekar. Tapi tidak seindah itu suasana hati Ophi. Semalam ia sempat bertdebat dengan abahnya yang keras kepala.
“Apa yang membuat kamu mengambil keputusan cepat untuk menolak Mas Huda?” tanya Abah sehabis makan malam.
“Maaf, Ophi merasa tidak sreg. Kalau sudah begini Ophi tidak bisa dipaksa” kata Ophi. Kilatan mata hitam abah membuat Ophi terus menunduk sambil memainkan ujung jilbab.
“Apa kurangnya dia? Jika jodoh boleh memilih antara agama, keturunan, harta, dan rupa…” abah menghentikan kalimatnya, melirik Ophi sekilas yang masih tetap menunduk. “Mas Huda hanya kalah dalam rupa. Dia kaya. Abah bisa percayakan kamu untuk ia penuhi kebutuhannya”
Seketika Ophi dan Mas Bayu mendongak. Mereka tidak percaya dengan apa yang baru saja didengar.
“Harta? Jadi abah memaksa Ophi menikah dengan Mas Huda karena hartanya? Bukankah selama ini abah selalu mengagungkan soal agama?” kata Mas Bayu.
“Bukan hanya hartanya, Bayu. Tapi setidaknya abah bisa percayakan hal itu.”
“Ophi tetap tidak mau. Ophi tidak akan kembali ke pondok jika abah belum menolak Mas Huda” kata Ophi. Entah keberanian dari mana ia mampu mengatakannya.
Meja makan yang semula berisik karena suara sendok dan piring yang beradu menjadi hening. Semua diam terkecuali tangan Ophi yang masih memainkan ujung jilbabnya. Abah terlihat mengerutkan dahinya. Seperti memikirkan sebuah rencana.
“Baik, kamu boleh menolak Mas Huda. Kamu mau menunggu Mas Huda ke sini lalu menolak, atau kita datang kesana untuk menolak?” tanya abah dengan suara sedikit lesu.
“Menunggu Mas Huda ke sini. Paling beberapa hari lagi dia ke sini. Jadi kita tidak usah repot-repot ke rumahnya” kata Ophi ketus.
“Kalau kamu menolak Mas Huda di rumah ini. Rumah yang sudah abah piak sejak lahir, silahkan hadapi sendiri. Abah akan pergi…”
Hening lagi. Kini Ophi yang terlihat berpikir keras. Bagaimana mungkin dia akan menolak pinangan seorang lelaki tanpa abahnya? Sedangkan Mas Huda mengatakan keinginannya melalui abahnya.
“Biarkan aku yang menghadapi Mas Bayu menemanimu, Ophi” kata Mas Bayu dengan tulus.
“Tidak Mas. Begini saja, aku akan menolak Mas Huda dengan perkataan dari mulutku sendiri dan kita ke rumahnya!” mata Ophi berkilat-kilat seolah melawan kilatan mata abah.
Abah terperanjat mendengar perkataan Ophi. Ia terkejut anak gadisnya sudah bisa memberontak. Ia pikir dengan tawaran seperti tadi membuat Ophi mengurungkan niatnya untuk menolak Mas Huda. Tapi ternyata dugaannya salah. Ophi mulai bisa membantah.