Secangkir hangat teh manis berapa kali diteguk pelan mendarat pada bibir tebal berkumisnya Bagyo, seorang Abah yang bijaksana dan pengusaha sukses dibidang expedisi.
Kemudian tangan kanannya kembali meletakan cangkir teh masih tersisa setengah saja diatas meja bulat berukuran kecil, wajahnya mulai menyimpulkan senyuman.
Suasana teras beranda depan rumah serasa asri sekali, selasar halaman rumah banyak ditumbuhi pepohonan besar serta tanaman bunga dalam aneka bentuk pot.
Dari kejauhan lihat saja hamparan lereng perbukitan hijau menjulang tinggi, serasa selalu rindu tidak ingin lepas memandang dari tatapan dua mata bagi siapa yang melihatnya.
Rumah panggung bergaya tempo dulu terlihat berdiri kokoh terkelilingi perbukitan hijau, yang mana itulah keinginan Bagyo setelah dihari tuanya dirinya ingin pensiun dari segenap aktivitas, ingin sekali dihari tuanya tinggal menepi dari kebisingan dan hingar bingarnya Kota Bandung.
Bagyo beranjak bangun setelah sebentar melirik secangkir teh masih tersisa setengah saja masih diatas meja, wajahnya makin tersenyum bahagia melihat kearah lereng perbukitan Gunung Burangrang, masih terselimuti kabut putih masih setia menyelimutinya.
Kain sarung hijau bergaris kotak-kotak hitam dan baju putih kokoh berlengan panjang masih membalut tubuhnya, kebiasaan dirinya setelah sehabis menunaikan Sholat Subuh selalu mengajak memanjakan dua mata dan hatinya untuk melihat keindahan Ciptaan Allah sangat dekat sekali memandangnya.
"Ambu yakin, Salwa itu jodoh pilihan Allah buat kamu, Firman," seraya berkali-kali menegaskan Dila, seorang Ambu yang sama bijaksananya, tapi hatinya semakin yakin bila Salwa selama ini menjalin hubungan dengan Firman, anaknya adalah benar jodoh pilihan Allah.
Firman hanya terduduk sambil meletakan kopiah putih diatas meja berhadapan dirinya lalu terduduk, pandangan dua matanya masih melirik Dila mengelap aneka pajangan tersusun rapi tergeletak pada meja kecil.
"Abah juga sependapat dengan Ambumu, Fir." sahut Bagyo yakin tersenyum duduk berhadapan dengan Firman, wajahnya semakin tampan dengan kumis tipis menggelayuti bibir kecilnya.
"Abah'kan juga kepengen sekali cepat-cepat menimang cucu. Ya'kan, Ambu?" sambung Bagyo sembari melirik Dila membalasnya dengan senyuman lalu ikut-ikutan terduduk juga disamping Bagyo, seorang suami yang sangat di cintainya itu.
Serbet bermotip kotak-kotak berdasar warna kain hijau di geletakan pada bahu kiri menyelempang, walau Dila sudah terlihat tua umurnya tapi wajahnya masih kelihatan cantik.
Lihat saja wajahnya masih tampak muda dengan balutan hijab hijau toska senada sekali dengan gamis putih yang di pakainya pagi menjelang siang itu.
Ruangan tamu yang tertata rapi, hampir disetiap dinding tembok tergantung kaligrapi berlafal Allah.
Furniture sederhana hampir menata pada setiap sudut ruangan, hampir semua furniture terbuat dari anyaman bambu dan kayu jati.
"Benar'kan Fir, apa kata Abah. Ambu sependapat bangat sama Abahmu, bila kami berdua ingin sekali cepat-cepat bisa momong cucu," sambung Dila seraya menegaskan hatinya bila keinginannya juga di dengar Firman hanya tersenyum sepintas melirik kaligrapi lafal Allah terpampang didinding tembok sebelah sisi kanan duduknya.
"Ambu dan Abah doa'kan saja. Saya juga maunya begitu, tapi'kan Abah dan Ambu tahu bila sekarang ini saya sedang sibuk-sibuknya ngurusin perusahaan," tutur Firman seraya dirinya hanya ingin menjawab keinginan Dila dan Bagyo, tapi rasanya ada yang tersirat keraguan pada raut wajahnya ketika di perhatikan Dila tahu benar.
"Apa karena kamu jadi beban mengurus perusahaan, Abah?" tanya Dila seakan rasa keraguan Firman makin bikin hatinya Dila penasaran. Hanya menarik menghela napas sedikit Firman tidak menjawab pertanyaan Dila makin rada bingung sempat melirik Bagyo mulai merasa tidak enak hatinya.