Mobil mercy antik berwarna hitam terus berjalan menyusuri Kota Bandung, tetapatnya mulai memasuki Jalan Braga Bandung dan tidak sampai berapa menit lagi akan sampai pada kawasan areal Braga CityWalk.
Jalan Braga Bandung, dulunya adalah jalan utama kota Bandung yang punya nilai sejarah historis dan selain sangat bersejarah karena cikal bakal Bandung dikenal sebagai Kota Kembang berasal dari popularitas Jalan Braga.
Keberadaan Jalan Braga sudah sangat terkenal sejak zaman kolonial Belanda, sebagai lokasi tempat keramaian dan sebagai urat nadi bisnis utama di Kota Bandung sejak dulu dan sampai sekarang. Sehingga tidak salah, jika sampai sekarangpun Jalan Braga tetap selalu di pertahankan sebagai salah satu landmark kota Bandung tempo dulu.
Wajah tampannya Firman tentu masih menghiasi sanubarinya makin berseri-seri terpancar mengumbar senyuman sumringah bahagianya sepanjang jalan dengan kedua tangannya masih setia kemudikan setir mobil.
Langit Kota Bandung makin cerah, tapi ada saja awan kelabu nakal selalu bermain-main menghalangi laju teriknya sinar matahari menjelang siang itu.
Tepian jalan mulai serasa disesaki lalu lalang langkah-langkah kaki orang terus berjalan untuk cepat berjalan sampai pada tujuan masing-masing.
Bangunan mall dan perkantoran makin berlomba berdiri tegak dengan aneka macam model gestur bergaya bangunannya. Pepohonan hijau asri, dedaunannya terus bergerak seraya melambaikan rasa bahagia semakin hijau untuk menyaring udara segar yang terus dihirup sebagai filter untuk alam agar tetap terjaga kelestariannya.
Deru bising knalpot kendaraan mobil dan motor terus memadati setiap sudut jalan, namun setiap pengemudi selalu disiplin mengemudinya.
Tapi kemacetan mulai terlihat memadati setiap sudut jalan, tetap saja rasa kesabaran harus teruji untuk kendaraan yang ada didepan atau dibelakang terkena macet karena lampu merah.
"Kring ... Kring ..." suara dering ponsel terdengar dari dalam tas, untung saja mobil yang di kemudikan Firman sedang berhenti menunggu antrian jalan lampu merah, cepat tangan kirinya menyelinap masuk kedalam tas.
"Assalam' mualaikum," "Waalaikum' salam." terdengar suara salam halus penuh kelembutan terucap sepertinya suara seorang gadis, yang sontak dijawab Firman tersenyum dengan tangannya kanannya menempelkan ponsel pada kuping kanan.
"Jangan sampai telat makan lagi, Fir. Terus minum obat maagmu. Terus jangan lupa Sholat, walau kamu sibuk tetap kamu harus Sholat," hampir setiap hari nasehat berantai selalu terucap dari Salwa, gadis berparas cantik ayu dengan selalu menjaga ahlaknya sebagai gadis muslimah.
Hampir setiap hari dirinya selalu mengingatkan Fiiman, calon suaminya yang mana mereka berdua sudah berpacaran hampir 5 tahun, mereka berdua sudah ada rencana untuk menikah tapi belum terialisasi.
"Iya, iya Salwaku yang cantik dan bawel," terdengar jawaban Firman suaranya seraya meledek tidak terlalu kencang. Tangan kiri Salwa lalu mereject ponsel dan di letakan pada meja bersampingan dengan Kitab Suci Alquran.
Dua matanya pagi itu masih di manjakan dengan lereng perbukitan Gunung Burangrang jauh dari pandangan dua matanya dari balik jendela kamar. Tersenyum wajahnya makin mendekati dirinya kearah jendela yang menyajikan pemandangan indah Ciptaan Allah yang tiada bandingannya.
Untung saja pagi teduh masih membaluti suasana Pesantren Al Nur Iman, kabut putih berserpihan halus dilangit masih menyelimuti sekitarnya.
Tapi tidak dengan kubah Masjid Al Nur Iman masih kelihatan berdiri menjulang tinggi, walau kabut nakal menutupinya. Tapi lama-kelamaan seraya kabut putih tidak lagi menyelimutinya malahan makin jelas terlihat tegas tegak berdiri kubah besarnya seraya hampir mencakar langit. Lafal Allah berdiri tegak diatas kubahnya, seraya meyakinkan bila Allah adalah segalanya dan tiada yang lainnya.