Takbir berkumandang dari arah lapangan pusat. Embun pagi di dedaunan seolah ikut merayakan kegembiraan orang-orang yang berbuka setelah satu bulan berpuasa. Mentari muncul malu-malu, menyinari desa, menambah semangat para pejalan kaki yang berangkat ke lapangan untuk melaksanakan salat ‘Idul Fitri.
Kami salat 'Id. berjamaah dengan khidmat. Mataku sedikit berair, mengingat masih banyak dosa dan kekurangan dalam menjalankan puasa di bulan Ramadan. Usai salat, aku mendengarkan khotbah dengan khusyuk.
**
Sepulang dari salat ‘Id., aku duduk di ruang tamu seraya mengecek ponsel. Sudah banyak ucapan selamat ‘Idul Fitri dan minta maaf yang masuk di aplikasi berlogo ganggang telepon warna hijau. Aku membalasnya satu per satu.
“Assalamualaikum,” salam Bapak dan Ibu yang baru pulang.
“Wa’alaikumussalaam,” jawabku.
“Sudah pulang, tol, Nduk* Alia?” tanya Ibu, lalu duduk di sampingku.
“Sudah, Bu,” jawabku.
Aku berinisiatif membuatkan minum untuk Bapak karena biasanya Ibu sudah menyeduh teh pagi-pagi, lalu bersiap untuk silaturahmi.
“Makasih, ya, Nduk,” ucap Bapak.
Aku mengangguk.
“Seperti biasa, kita ke tempat Bude, yuk!” ajak Bapak usai menghabiskan minumannya.
Kami beranjak untuk mulai silaturahmi.
**
Ujian hijrah seseorang itu berbeda-beda, termasuk aku. Dari level biasa saja sampai yang terberat. Hari itu adalah hari saat keimananku diuji oleh Allah. Apakah diri ini masih akan tetap memakai cadar, atau melepasnya begitu saja?
Kami akan bersilaturahmi ke daerah tempat kami tinggal dahulu, ke rumah para sesepuh dari jalur Ibu. Aku menatap cermin di dalam kamar, mengembuskan napas panjang. Siapkah diri ini bertemu orang-orang baru? Maksudnya, mereka yang baru saja melihatku memakai cadar.
Sepanjang perjalanan di dalam mobil pick up pinjaman dari tetangga, hati ini merasa gemetar, takut jika sanak saudara di sana tak suka dengan pakaianku. Semua serba gelap, tidak umum dan asing bagi mereka.