“Saya terima nikah dan kawinnya Zunaira Raisa binti Ismail Burhanudin dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” Lelaki dengan rahang tegas dan hidung mancung itu berijab dalam sekali tarikan napas.
“Bagaimana Saksi? Sah?” tanya sang penghulu.
“Saaah!” jawab para saksi, kompak.
“Baarakallahu laka wa baarakaa alaika wa jamaa bainakumaa fii khoir.”
Doa-doa menggema seantero ruangan. Raut bahagia tergambar di wajah segelintir yang hadir, kecuali Rayhan. Lelaki yang menjadi tokoh utama dalam acara pagi itu mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Tidak ada senyum lega selayaknya pengantin pria, yang ada hanya ketegangan di rahang kukuhnya. Bahkan ketika sang pengantin wanita digandeng keluar dari kamar menuju tempat akad, ekspresi wajah Rayhan tidak juga berubah. Dia hanya melirik sepintas ke arah perempuan bergamis putih itu. Gamis yang terbilang sederhana untuk sebuah pernikahan.
Sebenarnya, sudah beberapa kali lelaki itu melakoni adegan seperti barusan. Menyalami wali atau penghulu, mengucap kalimat ijab kabul, dan menyambut sang pengantin wanita. Namun, kali ini berbeda. Tidak ada sutradara, tidak ada kru, tidak ada skenario. Pernikahan kali ini nyata, bukan akting belaka. Namanya sendiri yang disebut sang penghulu, bukan nama tokoh yang sedang dia perankan.
Rayhan mengatupkan rahangnya kuat-kuat saat Raisa mencium punggung tangannya dengan hikmat. Tidak ada debar cinta. Yang nyata hanya sesak dan rasa bersalah yang menghimpit dadanya.
Lamunan lelaki itu buyar ketika seseorang dengan kamera di tangannya mengarahkan mereka untuk berpose. Dengan gusar, Rayhan melirik Marco sang manajer. Bukankah kesepakatannya tidak akan ada sesi dokumentasi?
Rayhan kini memang sedang berada di puncak popularitas. Pernikahan ini seharusnya disembunyikan dari publik.
Menangkap isyarat Rayhan, Marco segera menghampiri lelaki dengan kamera itu. Rayhan melihat Marco membisikkan sesuatu, entah apa, sehingga lelaki yang memegang kamera itu bergerak mundur dan menyimpan kameranya.
Lega, Rayhan mengangkat kedua sudut bibirnya.
***
Tiga minggu sebelumnya .…
Sreeeng.
Desis nyaring terdengar ketika Raisa memasukkan bumbu halus yang terdiri dari campuran bawang merah, bawang putih, cabai merah keriting, kemiri, kunyit, lengkuas, jahe, dan serai ke dalam wajan teflon berisi minyak panas. Uap putih yang menguarkan aroma wangi rempah mengepul setiap kali Raisa mengaduk bumbu halus dengan sutil kayu. Perempuan itu menambahkan beberapa lembar daun salam dan daun jeruk ke dalam tumisan.
Setelah itu, dia mengambil termos lalu menuangkan isinya ke wajan setelah ayam berubah warna. Perempuan itu mengaduk-aduk isi wajan hingga tercampur rata. Ditambahkannya garam dan sejumput gula. Sambil menunggu kuah menyusut dan mengental, Raisa menyiapkan beberapa wadah plastik berlogo R-Kitchen di meja. Terakhir, dia menuangkan sebaskom daun kemangi ke dalam wajan.
Tok, tok, tok.
“Iya, sebentar.”
Raisa mematikan api kompor dan membuka celemeknya. Dia menyambar jilbab di gantungan dengan tergesa kemudian mengenakannya sebelum membuka pintu.
"Oh, hai … Ray?" Raisa tersenyum kaku dengan sepasang alis yang berkerut. Dia tidak menyangka bahwa lelaki itulah yang sedang berdiri di depan pintunya. Awalnya, dia mengira yang datang adalah salah satu kurir atau pelanggannya yang hendak mengambil pesanan.
"Hai." Lelaki itu menyapa dengan sedikit canggung. "Boleh masuk?"
Raisa berpikir sejenak dengan posisi masih memegang gagang pintu. "Maaf, aku sendirian. Kita bicara di luar aja, ya?” tawarnya. Rayhan memang teman masa kecilnya, tetapi kini mereka telah sama-sama dewasa. Tidak baik jika mereka hanya berduaan di dalam rumah yang sepi.
Lelaki itu membuka kacamata hitamnya, memperlihatkan sepasang mata elangnya yang digandrungi para wanita. "Aku takut ada wartawan," desaknya.
Raisa menghela napas, menimbang-nimbang apakah sebaiknya dia mempersilakan Rayhan masuk atau tidak.
"Cuma sebentar. Ada hal penting yang mau aku bicarakan."
Raisa akhirnya mengalah. Dia mempersilakan Rayhan masuk dan duduk di sofa ruang tamu yang mulai usang. Dia biarkan pintu dan jendela terbuka lebar.
“Mau minum? Aku buatin dulu, ya? Mau teh? Kopi? Sirup?" Raisa bertanya sebelum melangkah ke dapur.
"Sa, menikahlah denganku." Ucapan Rayhan membuat tubuh Raisa mematung.
Perempuan itu butuh beberapa detik untuk memahami perkataan lelaki itu.
"Maaf?" Raisa mengerutkan kening. Siapa tahu dia hanya salah dengar.
"Menikahlah denganku," ulang Rayhan.
"Ray, kamu bercanda, kan? Atau ini dialog di film terbaru kamu?”
"Aku enggak bercanda dan ini bukan dialog film.” Rayhan terlihat serius. Sangat serius. “Menikahlah denganku.”
“Ray?” lirih Raisa, terbata. “Kenapa ... tiba-tiba?” Raisa harus memegang sandaran kursi untuk menopang tubuhnya, kedua lututnya tiba-tiba terasa lemas.
"Enggak tiba-tiba. Aku sudah memikirkannya sejak berbulan-bulan lalu. Mama dan papaku juga setuju.”