"Hai, Sayang.” Papa datang menyapaku, yang sedang membuatkan Mama makan siang. Dia langsung duduk di kursi meja makan, memperhatikanku yang sedang sibuk memasak.
“Hai, Pa,” jawabku sembari mengecup pipi kanan dan kiri Papa, lalu kembali sibuk memasak.
“Sayang, terima kasih, ya.”
“Untuk apa, Pa?” tanyaku masih sibuk dengan penggorengan di atas kompor.
“Sudah bersedia memaafkan Mama dan Papa.”
Aku melangkah mengambil garam sambil tersenyum, dan menoleh sekilas ke arahnya. “Dilla yang minta maaf, Pa. Sudah egois,” jawabku sesekali menoleh ke arah Papa, tetapi kedua tangan masih membolak-balik masakan di kuali.
Papa mendekatiku, kemudian mencium puncak kepalaku. “Papa ke atas duluan, ya, Sayang,” pamitnya.
“Oke,” jawabku menyungging senyum.
Papa melangkah meninggalkanku ke atas dengan raut wajah yang berbeda dari biasanya. Aku sempat berpikir, apakah Papa sedang menghadapi suatu masalah? Karena sudah satu minggu ini wajahnya terlihat lebih murung dari biasanya. Tiba-tiba Bik Susi dan Mbok Minah datang mendekat, lalu menawarkan bantuan. Aku menolak. Aku ingin Mama memakan masakanku setiap harinya.
Sudah dua bulan ini main ke rumah Mama menjadi pekerjaan rutin. Entah seminggu tiga kali, atau bahkan empat kali. Kalaupun tidak sempat datang, aku akan menelepon Mama berjam-jam, hanya untuk mengobrol banyak hal. Mama yang biasa sibuk di ruang kerja, kini malah sering berbaring di kamar. Katanya setelah usianya mendekati 50 tahunan, dia mulai mudah lelah. Dia juga sudah mengajarkan cara membuat sketsa pakaian padaku. Aku tidak menyangka, ternyata aku cukup berbakat, meskipun tidak sepiawai Mama. Tangan Mama sudah terbiasa meliuk-liuk di atas kertas, menghasilkan karya yang indah dan luar biasa. Sedangkan aku? Lumayanlah. Hehehe.
Aku menaiki anak tangga sambil membawa sepiring nasi dan lauk-pauk yang baru saja masak, menuju kamar Mama letaknya di samping ruang kerja. Suara pintu terdengar karena kubuka, ternyata Papa sedang bersama Mama juga. Akhir-akhir ini, Mama sering sakit. Mama bahkan melarang aku menyisir rambutnya seperti biasa.
“Halo. Assalamualaikum, Mama, Papa,” sapaku pada mereka dengan senyum mengembang. Aku berjalan mendekat ke ranjang, kemudian meletakkan piring dan segelas air putih di atas nakas.
Papa duduk di sisi Mama sambil mengusap-usap punggung tangan Mama. Laki-laki bertubuh tambun ini terus memperhatikan Mama.
Aku melihat raut wajah kekhawatiran di sana. “Pa, kok begitu ngelihatin Mama? Mama sakit apa, sih, sebenarnya? Katanya sudah dibawa ke dokter. Kata Papa, Mama demam biasa, tapi muka Papa, kok, cemas banget, ya?” cecarku menyelidik. “Papa juga sudah seminggu loh nemenin Mama di rumah. Enggak biasanya.” Aku menatap wajah Mama dan Papa secara bergantian.
Mereka saling pandang, kemudian menunduk bersamaan.
“Ma, Mama kurusan, deh. Padahal aku siapin Mama makan setiap ke sini. Mama, ayo, di makan, dong. Dilla sudah susah masakinnya.” Aku mengambil piring dan menyuapkan satu sendok ke mulut Mama.
Papa masih membisu, sesekali menyeka keringat yang mengembun di dahinya. Padahal udaranya dingin, karena kamar Mama memakai AC. Aku melirik Papa beberapa kali. Terlihat raut wajah putus asa dan kesedihan di sana. Aku jadi penasaran, sebenarnya Mama sakit apa? Belum hilang rasa penasaran, tiba-tiba Mama mengangkat tangannya memberi aba-aba supaya aku berhenti menyuap.
“Kenapa, Ma? Enggak enak, ya, masakan Dilla?” tanyaku mengambilkan Mama segelas air putih di atas nakas, lalu memberikannya. Mama menggeleng lemah, kemudian menerima gelas yang kuberikan, tapi tiba-tiba ....
Prakkk!
Gelas terjatuh dan pecahan beling berhamburan di lantai. Mama memegang kepalanya kuat-kuat dan berteriak kesakitan. Aku bingung melihatnya, sementara Papa berusaha menenangkan Mama.
“Mbok, Bik Susi, cepat ke sini!” teriak Papa berkali-kali.
Tergopoh, Mbok Minah dan Bik Susi datang mendekat. Salah satu dari mereka langsung membereskan pecahan beling di lantai. Aku berdiri gugup melihat keadaan ini. Selama dua bulan sering ke sini, ini pertama kalinya aku melihat kondisi Mama yang seperti ini. Papa buru-buru merogoh ponsel dari dalam saku celana, lalu menelepon seseorang. Setelah itu, kembali datang dan memeluk Mama erat. Papa menunjuk laci, meminta Bik Susi mengambilkan obat dari sana.
Tidak lama Mbok Minah datang lagi membawakan segelas air putih yang baru. Cepat-cepat mereka meminumkan obat itu pada Mama. Setelah meminum obat, Mama terlihat lebih tenang. Papa membaringkan Mama di ranjang. Mama berbaring dengan mata terpejam.
Aku melangkah mendekatinya dengan dahi mengerut, kebingungan. Aku menatap Papa yang tertunduk lesu sambil menggenggam jemari Mama di sisi ranjang, sedangkan Mbok Minah dan Bik Susi kembali ke dapur. “Pa, Mama sakit apa?” bisikku pada Papa. Mataku memerah panas. Aku tidak sanggup melihat Mama seperti itu.
Papa menggelengkan kepala.
“Pa? Sekali lagi aku tanya, Mama sakit apa?” tanyaku dengan kalimat yang penuh penekanan.
“Kita tunggu dokternya datang dulu, ya, Sayang? Jangan sekarang. Kasihan Mama.”
Aku mulai berpikir yang bukan-bukan tentang penyakit Mama. Rambut yang rontok, sakit kepala yang berlebihan, tubuh yang semakin kurus, nafsu makan menghilang, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Setelah 30 menit, seorang laki-laki berkacamata datang dan masuk ke kamar Mama. Papa meminta aku menunggu di kamarku sendiri. Dia akan menemuiku, setelah pemeriksaan selesai.
Satu jam lebih aku menunggu di kamar. Pikiranku masih waswas memikirkan Mama. Sakit apakah Mama, sampai mengalami sakit kepala yang begitu dahsyat? Setiap hari, kesehatan Mama semakin menurun drastis. Tubuhnya tinggal tulang yang dilapisi kulit, tidak ada lagi daging, apalagi lemak.