Aku duduk bersandar di kepala ranjang, menimang-nimang ponsel di tangan. Kirim chat duluan atau tidak, ya? Aku ingin tahu, kira-kira Mas Pras sedang apa? Jika terus menunggu seperti ini, apakah nanti dia akan mengirim chat padaku lebih dulu? Setelah berpikir lama, akhirnya kuputuskan mengirim pesan padanya.
[Assalamualaikum, Mas. Sudah sampai di rumah apa belum? Jangan lupa makan, ya!]
Send.
Aish! Seperti anak ABG saja. Aku baru menyadari, chat-ku terlalu basa-basi. Mumpung belum dibaca aku berniat menghapusnya, tapi baru saja akan kuhapus ... centangnya sudah berubah jadi warna biru. Aku memejamkan mata. Malu. Aku tidak sabar ingin melihat reaksinya. Sepertinya ia mengetik pesan cukup panjang, karena sejak tadi belum juga selesai.
[Waalaikumsalam, sudah.]
Tuh, kan! Makasih kek sudah diingetin makan. Ini malah dibalas begini! Aku membanting ponsel ke atas kasur, kemudian menutupinya dengan banyak bantal supaya tidak tergoda kembali mengirim chat kepada Mas Pras. Aku membolak-balikkan badan gelisah. Meskipun aku menahan untuk tidak mengirim chat, tapi hatiku memberontak, meminta menelepon atau mengirimkan pesan lagi dan lagi.
Aku menyerah! Kuambil lagi ponsel di bawah beberapa tumpukan bantal, lalu mulai mengetik chat untuk Mas Pras.
[Mas, aku rindu ....]
Eh, lebay enggak, sih, kalau aku kirim pesan seperti ini? Aku menghapusnya dan mengganti dengan kalimat lain.
[Mas, ini pertama kalinya kita jauh berpisah. Bagaimana dengan perasaan, Mas?]
Send.
Aku gelisah menunggu balasannya. Melirik beberapa kali gawai, tapi belum juga dibalas. Butuh beberapa saat, akhirnya centang biru juga. Aku mulai waswas, menunggu dia mengetik sesuatu. Kayaknya panjang banget. Apa dia mulai melunak dan mau memaafkanku, ya? Tanpa sadar, senyum terukir di bibir. Setelah beberapa menit menunggu akhirnya dia membalas.
[Biasa aja]
What ? Biasa saja? Tadi ngetiknya lama banget, kok. Aku yakin, dia pasti balasnya panjang. Masa, sih, cuma segitu balasnya? Aku mengguncang-guncang gawai di tangan. Apa ponsel ini sedang rusak, sehingga tidak bisa menerima chat dengan baik?
Ah, Mas Pras!
Dengan lemas, aku menarik selimut menutupi semua tubuh dan mematikan lampu di atas nakas. Kupaksakan diri untuk tidur, meskipun suasana hati sedang kesal.
***
Pagi ini, aku sedang menunggu dokter yang biasa menangani Mama datang. Setelah menyuapi Mama sarapan pagi dan memberinya obat, aku berniat turun untuk membantu Bik Susi dan Mbok Nah mengerjakan pekerjaan rumah. Papa sudah pergi bekerja 10 menit yang lalu. Aku menarik jilbab instan berwarna merah muda di balik pintu kamar, kemudian berjalan menuruni anak tangga. Seperti biasa, Bik Susi sedang menyiram bunga dan Mbok Nah sedang menyapu halaman, sedangkan Pak Bowo mengantar Papa bekerja.
“Bik, biar aku saja yang siram bunga. Hari ini Bik Susi masak saja, ya,” pintaku padanya.
“Non, biar saya saja. Nanti yang masak juga saya, Non,” sahut Bik Susi menolak.
“Ish! Bik Susi kayak apa saja, siniin!” pintaku sembari merebut selang air dari tangannya sambil tersenyum.
“Baiklah, Non.” Akhirnya Bik Susi mengalah juga. Bik Susi pasrah. Dia menyerahkan selang, kemudian melangkah meninggalkanku.
Sialnya, ketika Bik Susi sudah masuk ke rumah, selang airnya malah macet. Aku berusaha menghidupkannya beberapa kali, tapi gagal. Ketika aku mencoba mengintip ke dalam, selang airnya malah menyembur keluar. Karena kaget aku tidak bisa menyeimbangkan tanganku, sehingga selang itu seolah melayang-layang di udara.
Tiba-tiba ada tangan yang ikut menggenggam kedua tangan ini dari belakang. Dia berusaha menolong mengendalikan selang yang meronta di tangan. Setelah selang itu bisa dikendalikan, aku menoleh ke samping. Ternyata wajah berkacamata itu juga menoleh ke arahku. Refleks aku menjerit menjauh, dia pun melepas tubuhku yang seperti dipeluk dari belakang. Padahal aku tahu, dia hanya ingin membantu.
“Pak Dokter?” tanyaku dengan wajah pucat, terkejut.
“Oh, maaf, Mbak. Tidak bermaksud kurang ajar. Saya hanya berniat membantu,” sahutnya memohon maaf sambil menunduk, kemudian meletakkan sebelah tangan menyilang di dada.
“I-iya, enggak apa-apa, Dok. Saya ngerti, kok. Mari, saya antarkan menemui Mama di atas.” Aku meletakkan selang air, dan mengajak dokter muda ini menemui Mama.
Setelah melalui serangkaian pemeriksaan, kami meninggalkan Mama yang sudah kembali tertidur. Aku mengajak Pak Dokter muda ini duduk di ruang tamu.
“Jadi, bagaimana keadaan Mama saya, Dok?”
“Alhamdulillah, mamanya sudah semakin membaik.”
“Alhamdulillah, Pak Dokter,” gumamku tersenyum lega, kemudian menengadahkan kedua tangan untuk berterima kasih pada Yang Kuasa. Setelah selesai, aku mengusapkannya ke wajah.
“Mbak, panggil saja saya Arie.” Dia mengulurkan tangan.