Di bawah rintik hujan, kami berjalan melewati trotoar ditemani lampu remang-remang yang berjajar di pinggir jalanan. Mas Pras sudah menawarkan naik taksi online, tapi aku menolak karena masih ingin bersamanya. Aku terus saja berbicara hal-hal yang mungkin tidak penting baginya. Menceritakan semua kegiatanku di rumah Mama dari pagi hingga petang. Meskipun dia hanya diam, tapi aku percaya, dia mendengarkan dengan saksama. Udara dingin semakin menusuk kulit. Aku mengeratkan pelukan pada tubuh sendiri.
Mas Pras melepas jaket dan menyelimutkannya padaku. Bibir ini tersenyum tipis, melihat sedikit perhatian lagi yang ditunjukkannya. Aku berharap bisa mengembalikan Mas Prasku seperti dulu. Kami terus berjalan beriringan, dan sampailah di perempatan jalan. Aku menghentikan langkah kaki dan membiarkan Mas Pras jalan lebih dulu. Semua kendaraan berhenti, karena kebetulan lampu sedang berwarna merah.
“Mas!” teriakku padanya yang membuat langkahnya terhenti, kemudian berbalik menoleh ke belakang.
Semua orang menatap heran, karena teriakanku yang nyaring barusan.
“Prasetyo Almanda Putra. Aku mencintaimu sampai kapan pun! Meskipun kini kamu bukan Prasetyo-ku yang dulu. Meskipun jika suatu saat enggak ada lagi aku di dalam hatimu, aku akan selalu mencintaimu, Mas, baik hari ini, esok, dan sampai kapan pun. Maaf, sudah membuatmu kecewa!” teriakku sekali lagi. Aku menutup mulut dengan sebelah tangan, menangis di tengah keramaian.
Mas Pras mematung melihat tingkahku barusan. Dia tampak berpikir sejenak, lalu melangkah cepat menuju ke arahku dan seketika memeluk tubuh ini erat. “Maaf, aku enggak bermaksud mengabaikanmu,” bisiknya di telinga yang membuat tangis semakin pecah. Mas Pras menggandeng tangan dan mengajak duduk di kursi sebuah taman. Gerimis sudah berhenti, tapi air mata ini malah semakin deras. Mas Pras hanya menatapku yang terus menangis sambil sesekali menyeka air mata dengan jari-jarinya.
“Jangan lagi menjerit sembarangan. Bisa-bisa, nanti dikira orang gila.” Mas Pras tersenyum, tapi segaris senyum itu mampu menghangatkan hatiku. Tidak seperti biasanya yang dingin dan hambar.
***
Taksi berhenti di depan rumah tepat pukul 22.00. Sebelumnya, Mas Pras menawarkan untuk pulang ke rumah Mama, tapi aku menolak dan memutuskan tidur di rumah malam ini saja, karena tidak enak membangunkan Bik Susi ataupun Mbok Nah malam-malam.
Sampailah kami di kamar.
“Kamu enggak apa-apa kalau mau mandi lebih dulu, Mas mandi di bawah saja!” ucap Mas Pras sambil mengambil handuk di belakang pintu kamar.
Aku diam saja, langsung menuju kamar mandi dan membersihkan diri. Tubuhku masih terlilit handuk ketika keluar kamar mandi, lalu membuka lemari. Benar saja, tidak ada satu pun pakaianku di sini, Mas Pras membawa semuanya ke rumah Mama. Apa dia pikir aku mau pindah rumah, sampai semua pakaianku diangkut ke sana?
Kuputuskan memakai baju Mas Pras malam ini, aku sibuk memilih baju Mas Pras dan akhirnya pilihanku tertuju pada kemeja lengan panjang Mas Pras berwarna putih. Aku memakainya tanpa bawahan, semua celana pendek Mas Pras kebesaran di bagian pinggangnya. Kini aku hanya memakai atasan kemeja ini saja, dengan panjang baju sampai di pertengahan paha. Sebenarnya malu, tapi mau bagaimana lagi?
Aku geli sendiri, jika ingat aku pernah nekat memakai lingerie untuk menggoda Mas Pras. Jangan sampai kali ini Mas Pras berpikir hal yang sama seperti saat itu. Aku menarik-narik bagian bawah kemeja ini lebih ke bawah lagi, siapa tahu bisa molor dan lebih panjang sampai ke lutut. Namun sia-sia saja, karena kemeja ini berbahan katun.
Kini aku duduk di depan kaca rias, menyisir rambutku yang basah. Suara derit pintu terbuka. Aku berdiri dan menoleh ke belakang. Mas Pras berdiri dengan tubuh miring bersandar di tiang pintu, matanya tidak berkedip melihat penampilanku. Debaran jantungku mulai bertabuh lebih cepat, tatkala bola mata hitam itu terus saja menatap. Aku berjalan menuju ke ranjang. Mata Mas Pras masih menatap tubuhku lekat.
“Maaf, Mas! Aku pakai bajunya. Soalnya pakaianku Mas bawa semua ke rumah Mama,” kataku duduk di ujung ranjang, lalu berbaring dan menarik selimut. Aku berbaring menghadap ke dinding.
Mas Pras diam saja. Perlahan Mas Pras melangkah mendekat.
Aku bisa merasakannya berbaring di belakang tubuhku, kemudian salah satu tangan Mas Pras menyelusup di bagian bawah lengan kiriku, lalu satu tangan lagi memeluk dari atas. Pada akhirnya, kedua telapak tangannya bertemu di depan dadaku. Dia memeluk tubuh ini erat, lalu memainkan ujung hidungnya di tengkukku. Embusan napasnya hangat menyapu punggung dan tengkuk. Aku memejamkan Mata, tatkala gejolak dalam hati menerpa dan menghadirkan desiran halus pada hati. Aku memejamkan mata, menikmati rasa yang lama tidak menyapa.
"Mas," panggilku lirih.
Mas Pras meremas tanganku yang memegang tangannya di depan perut, lalu mengecup hangat tengkuk ini. Sedangkan aku meringkuk, menahan gejolak yang semakin menjadi. Tangannya turun, menyusuri tubuhku dan kecupan kecil itu semakin banyak mendarat di punggung dan bahu.
"Kangen enggak sama Mas?" tanyanya lirih dibarengi satu kecupan di telinga.
Aku hanya tersenyum. “Mas?”
“Em?” gumamnya
“Masih marah?”
“Jangan lagi bersikap seperti itu, Sayang. Mas enggak bisa hidup tanpa kamu. Jauh dari kamu, membuat hidup Mas hampa. Bagaimana bila benar-benar kehilangan kamu dari dunia ini, Mas bisa gila,” bisiknya lirih.
Aku berbalik dan kini menghadap ke arahnya.
Mas Pras menempelkan keningnya di keningku, lalu memainkan ujung hidungnya di ujung hidungku dengan mata terpejam. Dia memeluk sangat erat.
“Maaf,” ucapku lirih.
Mas Pras membuka mata, menghentikan kesibukannya dengan hidungku. Dia kembali tersenyum dan menatap. “Maaf buat apa?”
“Sudah bersikap demikian. Sejak kapan Mas tahu Mama sakit?”
“Ketika kita akan berangkat liburan ke Yogya. Itulah mengapa Mas meminta kamu melakukan beberapa poin untuk Mama. Berharap, perlahan kamu mengetahui sendiri kondisinya. Mas pikir, itu cara yang tepat untuk memberitahumu, tapi ternyata sama saja. Istri Mas masih berbuat nekat dan hampir membuat Mas gila.” Kini ujung telunjuknya menekan pelan ujung hidungku gemas.
“Mas?”