"Sayang, kamu mau ikut ke rumah Mama?” tanya Mas Pras pagi itu, ketika akan berangkat bekerja.
“Aku pengin ke rumah Ibu, Mas. Sudah lama enggak bertemu. Kangen,” jawabku sembari menyelipkan jarum pentul di bawah dagu saat memakai hijab.
“Baiklah, kalau seperti itu. Sudah siap?”
“Siap, Mas Sayang,” jawabku mendekat dan menggandeng tangannya.
Mas Pras mencium pipiku, tersenyum, lalu melangkah keluar beriringan bersamaku.
***
Di mobil, Mas Pras memutar sebuah lagu dari Virgoun yang berjudul ‘Bukti’. Sesekali, dia melirikku dengan senyuman manis, kemudian mengecup lembut jemari tangan ini. “Sayang, kamu pengin punya anak berapa?” tanya Mas Pras.
Aku berpikir sejenak. Kira-kira kalau sepuluh anak kebanyakan enggak, ya? Atau lima anak saja? Wah, lima juga kebanyakan. Kalau satu nanti kesepian kayak aku. Tidak memiliki saudara, sedih juga rasanya, tidak ada tempat berbagi cerita dan teman bermain di rumah.
“Dua, Mas,” jawabku menoleh ke arahnya sambil tersenyum.
“Dua? Em ... tambahin dua lagi ya, Sayang? Jadi empat anak. Dikit banget cuma dua.”
“Mas, aku yang ngelahirin, loh,” sergahku dengan mata melotot menatap wajahnya.
“Mas yang tanem bibit, Sayang. Jadi, Mas yang lebih berhak menentukan,” jawabnya tidak mau kalah.
“Ih, kok begitu? Dua saja, Mas.”
“Empat, Sayang.”
“Dua!”
“Empat!”
“Ih, Mas! Dua, dua, dua, dua, dua!”
Perjalanan ke rumah Ibu hari ini diiringi debat kami berdua soal ingin punya anak berapa. Meskipun ujung-ujungnya tetap Mas Pras juga yang harus mengalah. Hihihi.
Sampai di rumah Ibu, seperti biasa, pintu sudah terbuka. Ibu sangat jarang menutup pintu rumah. Katanya semakin banyak tamu yang datang, semakin banyak rezeki yang menghampiri kita.
“Assalamualaikum!” teriakku mengucap salam sambil melepas sepatu di depan rumah. Sedangkan Mas Pras masih memarkir mobil di halaman.
“Wa’alaikumsalam,” jawab Ibu tergopoh keluar dari dalam. Wajahnya seperti ketakutan dan khawatir akan sesuatu.
“Kenapa, Bu?” tanyaku bingung melihat ekspresi Ibu.
Ibu berbisik di telinga, menjelaskan bahwa di dalam ada Pakde Joko dan Zahra. Mereka sampai di sini tadi malam, dan Ibu khawatir Mas Pras tidak akan menerima kedatangan mereka.
“Ibu tenang dulu, ya,” ucapku berusaha menenangkan, kemudian mengusap punggung tangan Ibu.
“Assalamualaikum, Bu.” Mas Pras mengambil punggung tangan Ibu, lalu menciumnya. Dia melepas sepatu menggunakan tumit, kemudian hendak masuk.
Aku buru-buru menarik tangannya mengajak masuk bersama. Wajah Ibu terlihat semakin cemas.
“Kenapa?” tanyanya bingung melihat tingkahku.
“Masuknya barengan saja, Mas,” jawabku melingkarkan kelima jari di lengannya, tapi dengan lembut dilepaskannya dan dia tetap masuk lebih dulu.
“Mas?” panggilku. Aku menyusulnya diiringi Ibu, tapi dia sudah telanjur melihat Pakde Joko dan Zahra yang sedang minum teh di ruang tamu. Seperti halnya Mas Pras, Zahra dan Pakde Joko juga terkejut melihat kedatangan kami.
“Kapan mereka datang, Bu?” tanya Mas Pras pada Ibu.
“Semalam, Le.” Ibu mengusap-usap punggung Mas Pras.
Pakde Joko dan Zahra hendak berdiri, tapi ....
“Tetap duduk di sana. Aku enggak mau bicara apa pun dengan kalian!” Mas Pras berbalik arah hendak kembali keluar rumah, tapi aku mencegahnya.