Tante Rini mengurut leher bagian belakangku, sejak tadi. Aku sudah berkali-kali muntah hari ini, saat mengunjungi Mama. Mbok Minah membuatkanku teh hangat, karena khawatir aku masuk angin. Sedangkan Papa sibuk menelepon dokter sejak tadi.
“Bagaimana, Sayang?” tanya Papa duduk di sisiku.
Saat ini kami sedang duduk di ruang keluarga. Bik Susi dan Pak Herman sedang belanja ke pasar.
“Kamu enggak salah makan, Sayang?” tanya Mama di hadapanku. Mama yang sedang duduk di kursi roda memandangiku dengan cemas.
Sebenarnya Mama sudah bisa berjalan seperti biasa. Hanya saja, kadang ketakutan Mama suka berlebihan. Mama selalu berjalan memegang dinding atau memegangi tongkat. Dia tidak pernah mau melepaskannya. Mungkin Mama membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri. Kami tidak memaksanya, melihatnya sudah sembuh saja adalah anugerah yang tiada terkira.
Tante Rini mengambil gelas teh dari atas meja, kemudian memberikannya padaku. “Minum dulu, Sayang,” perintahnya.
Aku menurut, membuka mulut dan meminumnya. Tidak menunggu waktu lama, teh tersembur keluar begitu saja. Padahal semalam aku masih biasa saja. Tidak ada yang salah rasanya .Mbok Minah dengan sigap mengepel lantai dan membereskan semuanya.
“Kamu istirahat di kamar kamu dulu saja, ya,” pinta Mama.
Aku mengangguk setuju. Bahkan mengatakan iya saja aku tidak sanggup. Tante Rini menuntunku naik menuju kamar.
Sesampainya di kamar, Tante Rini membaringkan tubuhku. “Tante ke bawah dulu, mau bantuin Mbok Minah masak. Kamu kalau butuh apa-apa telepon saja Tante, ya.”
Aku hanya menjawab dengan anggukan.
Seorang dokter perempuan datang ke kamar diiringi Papa yang mendorong kursi roda bersama Mama. Setelah melalui serangkaian pemeriksaan, dokter itu hanya tersenyum.
“Bagaimana keadaan anak saya, Dok?” tanya Mama dengan wajah cemas.
“Dilla tidak apa-apa, Bu. Dia hanya sedang hamil,” jawab Dokter itu tersenyum padaku. “Selamat, ya! Bentar lagi jadi seorang ibu. Buat Ibu dan Bapak juga selamat, ya. Mau jadi Oma dan Opa!” papar dokter itu sambil sibuk memasukkan beberapa peralatan medisnya ke dalam tas.
“Alhamdulillah, Ya Allah,” ucap kami bertiga penuh suka cita. Tidak sabar rasanya ingin memberi tahu Mas Pras.
“Sayang, kamu hamil!” teriak Mama. Tiba-tiba Mama berdiri dan berjalan mendekatiku yang berbaring di ranjang.
Aku, Papa serta dokter yang ada di sana bengong tidak percaya. Mama mencium keningku, lalu mengusap-usap perutku yang masih datar.
“Cucu Oma baik-baik di dalam, ya,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
“Ma-Mama bisa berjalan? Mama enggak takut terjatuh?” tanyaku pada Mama.
Mama baru menyadari sikapnya. Dia bahkan tidak percaya dengan apa yang di lakukannya barusan. Mama mengucek matanya berkali-kali, lalu memperhatikan kedua telapak kakinya yang menapak tegap di lantai. “Pa, Mama bisa berjalan normal lagi!” pekik Mama pada Papa.
Papa mendekati Mama, kemudian memeluknya. “Kebahagiaan kita double, Ma. Bakal punya cucu, dan Mama sudah bisa kembali berjalan,” sambung Papa.
“Wah, saya jadi ikut bahagia menjadi saksi kebahagiaan keluarga ini. Selamat untuk Ibu dan Dilla, ya,” ucap dokter cantik itu.
***
Aku meminta keluarga untuk merahasiakan kehamilanku pada Mas Pras. Aku ingin memberitahunya secara langsung tanpa diwakili oleh siapa pun. Setelah salat Isya, aku dan Mas Pras duduk di ruang keluarga. Bukan untuk menonton TV bersama. Aku mengajaknya memutar sebuah video di ponsel mengenai tata cara mengurus bayi. Mas Pras sangat antusias menontonnya, meskipun belum mengetahui soal kehamilanku.
“Wah, bayinya lucu banget, ya, Sayang.”
“Iya, Mas. Bagaimana kalau nanti aku hamil, Mas?”
“Wah, Mas jadi orang yang paling bahagia di bumi ini, Sayang.”
“Mau anak laki-laki atau perempuan?”
“Apa pun jenis kelaminnya, Mas bahagia, Sayang.” Mas Pras kembali sibuk melihat video di tangan. Dia begitu serius menontonnya.
“Mas?” panggilku
“Hem?” sahutnya tanpa menoleh ke arahku.
“Aku hamil!”
“Oh, kamu hamil,” jawabnya santai. Dia belum menyadari apa yang aku katakan, saking seriusnya menonton YouTube di ponsel. “Apa?” tanyanya dengan wajah terkejut.