Tiga hari setelah lahiran, kami pulang ke rumah Ibu di desa. Ibu belum mengizinkan kami pulang ke rumah, karena aku masih dalam masa pemulihan. Ibu juga ingin merasakan mengurus cucu-cucunya. Satu kata yang kurasa saat ini, sempurna! Memiliki suami yang baik dan taat, dua anak kembar yang cantik dan tampan dan memiliki mertua yang baiknya enggak ketulungan. Dengan telaten, Ibu mengurus aku dan kedua anak kembarku. Kedua anakku kami beri nama Dini Amanda Putri dan Deni Almanda Putra.
Seminggu sekali, tubuhku dipijat. Kata Ibu supaya cepat sehat. Aku diminta mandi dengan berbagai air rebusan tumbuh-tumbuhan. Segar sekali rasanya. Aku juga sering dimasakin sayur katuk. Kata Ibu, supaya asinya banyak dan mengalir deras, karena aku menyusui dua anak sekaligus. Kalau malam, Ibu dan Bapak memboyong dua anakku ke kamar mereka, supaya aku bisa fokus beristirahat. Mereka membawa ke kamar hanya jika dua anakku menangis karena harus minum asi.
"Sayang, kamu kok masih pucat saja wajahnya. Makan yang banyak, dong!" protes Mas Pras malam itu, ketika aku sedang duduk bersandar di kepala ranjang. Dia datang membawa segelas susu untukku.
Aku tersenyum, saat dia membelai kepala dan mencium kening.
"Masih suka pusing, Mas. Makasih, ya, susunya." Aku mengambil susu dari tangan suamiku dan meminumnya.
"Makanya, meskipun enggak selera, harus makan banyak-banyak. Kasihan anak kita, kalau kamunya enggak mau makan. Mereka jadi kurang minum susunya," nasihatnya dengan tatapan teduh, kemudian mengambil gelas kosong dari tanganku dan meletakkannya di nakas.
"Iya, Mas! Nanti aku makan banyak-banyak."
"Ya sudah, Mas lihat Dini dan Deni dulu. Kamu istirahat dulu."
Aku mengangguk, kemudian Mas Pras berlalu. Aku beringsut merebahkan tubuh dan memejamkan mata.
Tepat pukul 02.30, terdengar suara bayi menangis. Aku membuka mata, ternyata Ibu dan Mas Pras datang membawa dua malaikat kecilku. Perlahan, aku duduk dan menyusui mereka satu per satu.
"Sudah mendingan belum Nduk rasa badanmu?" tanya Ibu sambil menunggu aku memberi asi pada Dini. Sedangkan Mas Pras menimang-nimang Deni.
"Alhamdulillah, mendingan, Bu," sahutku supaya Ibu tidak khawatir.
"Kalau tidur, pakai bantal yang tinggi, supaya darah putih enggak naik ke kepala. Kata orang zaman dulu, bisa menyebabkan mata kita rusak, bahkan bisa linglung loh, Nduk."
Aku tersenyum. "Iya, Bu. Insyaallah aku baik-baik saja."
"Syukurlah," sahutnya membalas senyumku.
Dini sudah kembali terlelap, kini giliran memberi asi pada Deni. Ibu langsung kembali ke kamarnya membawa Dini. Dia berpesan, supaya Mas Pras nanti menyusulkan putra kami. Aku meraba wajah mungil putra salehku ini, dan beberapa kali mendaratkan ciuman di kepalanya.
"Sayang. Besok kita periksa ke dokter, ya! Kita cek keadaan kamu."
"Mas, aku sehat!" Aku meyakinkan.
"Sayang. Muka kamu itu pucat. Pokoknya, kita harus cek kesehatan kamu. Kalau enggak mau ke RS, kita ke bidan Leni yang dekat sini saja, ya! Mas mau kamu cepat pulih, Sayang."
"Tapi Mas .... " Belum aku menjawab Mas Pras sudah membungkam mulutku dengan bibirnya.
Seketika aku memejam, kemudian membuka mata saat dia menarik wajahnya.
"Mas mohon," katanya mengatupkan kedua tangan di depan dada.
Aku tersenyum dan mengangguk.
"Makasih, ya!" ucapnya seraya mencium kening.
***
Pagi-pagi sekali, aku diajak Mas Pras jalan santai di sekitaran rumah. Hari ini Minggu, jadi Mas Pras bisa menemaniku seharian. Mas Pras dengan hangat menggenggam jemariku. Seperti biasa, sikapnya manis dan lembut. Dia bercerita banyak hal soal kesehariannya di sekolah.
Aku mendengarkan dengan saksama, sesekali menganggukkan kepala. Kami akan tersenyum, saat berpapasan dengan beberapa tetangga. Dini dan Deni masih tertidur pulas, saat kami keluar rumah. Suasana sudah mulai terang, matahari mengintip dari ujung sana. Aku harus membiasakan diri untuk berjalan, meskipun masih agak susah. Aku mendapatkan lima jahitan di jalan lahir, saat melahirkan.
Mas Pras dengan telaten mengurusku. Setiap habis mandi mengganti kain kasa dan memberi obat pada area kewanitaanku. Dia bahkan beberapa kali sempat meneteskan air mata, melihat air mataku ketika menahan perih. “Sayang, terima kasih sudah berkorban melahirkan anak-anak kita yang lucu,” katanya saat itu sambil menyeka beberapa air mata di pipi.