"Nduk, nanti kalau sudah balik ke rumah, kalian sendiri jangan pernah sungkan untuk meminta bantuan kalau butuh apa-apa. Ibu paham, kalian itu belum berpengalaman. Namanya baru anak pertama, wajar kalau masih agak bingung, apalagi ini bayinya langsung dua.”
Aku mendengarkan nasihat Ibu dengan saksama. Ini menjadi bekalku nanti, saat sudah pulang ke rumah.
“Nanti kalau suatu saat si kembar mengalami demam seperti malam ini, parut bawang merah, terus campur dengan minyak telon dan lumurkan ke semua bagian tubuhnya. Inshaallah, nanti panasnya turun.”
“Iya, Bu. Kalau itu sampai terjadi, aku pasti panik. Mas Pras juga pasti bingung.”
“Jangan panik, telepon Ibu atau bawa ke rumah sakit terdekat. Kalau kamu panik, jadi kepikiran, nanti kamu juga ikut sakit. Kan kasihan suamimu dan anak-anakmu.” Kata-kata Ibu ada benarnya juga.
Rencana, minggu depan kami pulang. Besok ada janji dengan Mas Pras untuk cek kesehatan di rumah sakit atau bidan setempat.
Keesokan harinya, kami berdua mengendarai sepeda motor menuju ke rumah bidan, karena kata Mas Pras rumah sakitnya cukup jauh. Dia kasihan denganku. Setelah 25 menit, kami pun sampai di tujuan. Mas Pras langsung memarkir sepeda motornya dan menggandeng tanganku untuk masuk ke dalam. Di dalam, ada dua orang perawat yang bertanya keperluan dan apa tujuan kami datang. Sementara satu perawat memanggil bidan yang kini kuketahui bernama Bu Leni. Aku dicek kondisi tubuh dan darah oleh perawat yang satunya.
Bu Bidan datang, dia tersenyum saat melihat kami. “Pak Pras, kirain siapa,” katanya.
“Enggak usah panggil Bapak! Tua banget sih, Len,” sahut Mas Pras.
“Memang tua kamu, Pras, dari aku. Dari dulu malah.”
Mas Pras hanya tertawa, kemudian mereka terlibat obrolan tentang masa lalu, sementara aku masih dicek oleh perawatnya. Aku bengong melihat mereka tampak akrab, tepatnya cemburu. Mana bidannya cantik, putih, bersih. Pokoknya, sudah kayak cotton bud, tinggi putih langsing.
“Bagaimana keadaan istrimu, sudah enakan?” tanyanya pada Mas Pras. Kenapa tidak langsung menanyakannya padaku coba? Atau jangan-jangan ... sengaja?
“Katanya suka pusing, Len. Eh, aku belum sempat ngucapin makasih, karena waktu itu kalau kamu enggak datang tepat waktu ... entah bagaimana jadinya.”
“Nanti aku kasih vitamin saja, ya. Asi lancar, ‘kan? Sudah tugas aku sebagai bidan membantu orang lain.”
“Lancar, Mbak.” Kali ini aku nyelonong menjawab.
Mereka menoleh bersamaan, kemudian tersenyum. Selanjutnya kembali mengobrol hal-hal yang menurutku membosankan. Aku turun dari ranjang, saat selesai diperiksa oleh perawat, lalu duduk di samping Mas Pras. Aku coba mengingat-ingat, apa perempuan ini bidan yang saat itu menolong persalinanku? Setelah cukup lama terdiam, berusaha mengingat, aku baru sadar ternyata memang perempuan ini yang menolong persalinanku di mobil waktu itu.
Caranya berbicara dengan Mas Pras, kenapa terlihat sangat dekat? Atau jangan-jangan ... mereka mantan kekasih? Mataku membulat, aku langsung menatap Mas Pras tajam. Cukup lama, sehingga membuatnya sadar kalau kami ke sini untuk periksa, bukan memberinya kesempatan mengingat-ingat masa lalu mereka.
“Oh, iya, Len. Jadi, bagaimana dengan istriku?” tanya Mas Pras yang kini menggenggam jemariku.