"Nduk, kalau nanti pulang, mampir ke rumah mama sama papamu dulu, ya! Mereka pasti kangen nih sama Dini dan Deni,” kata Bapak sambil mengajak main dua cucunya.
“Iya, Pak. Besok sebelum pulang ke rumah, mau nginap dulu di sana beberapa hari. Mama sudah telepon mulu. Katanya, kangen sama cucu. Setiap hari, minta kirimin fotonya juga,” jawabku tersenyum.
“Lah, iyo. Orang cucu pertama, pasti lagi seneng-senengnya. Apalagi cucunya lucu-lucu seperti ini,” sambung Ibu sambil mengganti popok Deni.
“Iya, Bu. Alhamdulillah, diberi rezeki anak kembar. Lucu-lucu juga.” Aku mendekat dan ikut mengajak bayi kembar itu berbicara.
Bapak dan Ibu tampak sangat bahagia, karena akhirnya cucu yang selama ini didambakan hadir juga di tengah-tengah mereka.
Malamnya, aku kembali memunggungi Mas Pras. Entah kenapa, aku jadi minder seperti ini. Padahal, tidak ada yang berubah dengan sikapnya. Dia tetap manis dan bersikap romantis. Hanya saja, kepercayaan diriku sedang menurun.
“Janjinya mau cerita.” Terdengar suaranya dari belakang tubuhku. Dia menagih janji kemarin malam. “Mas sudah siap dengerin, loh. Siap mencatat setiap kesalahan yang sudah Mas buat dan memperbaikinya.”
Aku diam saja.
“Sayang, kamu kenapa?” Mas Pras sudah merapat di tubuhku, dan membelai lembut kepala ini. Sesekali, dia mencium hangat bagian samping wajah ini. “Yuk, cerita. Mas mau dengerin.”
Aku menarik napas berat, bersiap mulai bicara. “Mas, apa aku sekarang gendut karena makan terus?” Aku berusaha jujur.
“Enggak, kok. Siapa yang bilang?”
“Enggak ada. Tapi aku merasa badan aku sekarang berat.”
“Sayang, enggak usah mikir ke sana. Yang penting, anak kita sehat, kamu sehat, dan kita semua sehat.”
“Kamu bisa bilang itu sekarang, Mas. Nanti kalau aku gendut, pasti kamu cari yang lain.”
“Astagfirullah.” Mas Pras geleng-geleng kepala. Dia terus saja membelai kepala ini dengan lembut.
“Aku takut kamu berpaling dari aku, Mas. Di saat aku sudah benar-benar menggantungkan hidup aku sama kamu, di saat aku sudah benar-benar mencintai kamu.” Tenggorokanku serak. Aku memejamkan mata dan air luruh dari sudut mata.
Mas Pras memeluk hangat, kemudian membalikkan tubuh ini menghadap ke arahnya.
Aku menyembunyikan wajah di dadanya yang bidang.
“Mendapatkan cinta kamu itu bukan hal yang mudah, Sayang. Jatuh bangun dan dibarengi banyak air mata. Mas enggak akan semudah itu melupakan kamu. Bagaimanapun keadaan kamu nanti, Insyaallah, Mas enggak akan pernah berpaling.”
“Meskipun aku gendut?”
“Meski kamu gendut.”
“Meskipun aku jelek?”
“Kamu enggak akan pernah jelek, karena Mas cuma memandang kamu, dan menundukkan pandangan sama perempuan lainnya.”
“Bohong!”