"Sayang, waktu kamu nginep di rumahnya Pras, ada dokter mama kamu datang beberapa kali ke sini.” Tante Rini membuka obrolan siang itu, saat aku baru saja usai memberi asi pada Dini dan Deni.
“Oh. Dokter Arie itu namanya, Tante.”
“Kalau Dokter Arie, Tante tahu. Ini bukan dokter yang itu. Orangnya dewasa dan saat kami mengobrol, Tante baru tahu kalau ternyata dia ... duda,” bisik tante Rini.
“Oh, begitu. Aku malah belum tahu, kalau ada dokter lain selain Dokter Arie, Tante.” Aku menatap wajah Tante Rini yang tampak bersemu merah. Sepertinya, dia menyukai dokter itu dan sepertinya aku harus mencari tahu. “Mau aku comblangin enggak nih?” tanyaku menggoda.
“Ih, kamu apaan, sih!” katanya menahan malu.
Aku tersenyum melihatnya. Tante Rini memang perempuan dewasa, tapi dia masih cantik dan sehat. Umurnya sekitar 40 tahunan. Sudah lama juga Tante Rini menjanda, dia juga berhak bahagia.
Malamnya, saat Mama sedang melihat dua cucunya di kamarku, kutanyakan langsung soal dokter itu. Mama bilang itu dokter baru. Namanya Dokter Surya. Karena Dokter Arie sudah pindah ke Paris, jadi dia yang kini jadi dokter keluarga kami. Dokter Surya datang hanya untuk mengecek keadaan Mama, dan alhamdulillah semua baik-baik saja. Aku bercerita perihal Tante Rini pada Mama, dan ternyata Tante tidak menceritakan perasaannya. Kami berencana mengundang Dokter Surya suatu saat, untuk lebih mengenalnya.
“Nah, soal Tante Rini kan sudah kita bicarakan. Sekarang kamu minum jamu ini.”
“Jamu apa ini, Ma?”
“Minum saja. Ini jamu kunyit biasa.”
Tanpa curiga, aku menurut meminum jamu yang diberikan oleh Mama. Setelah itu, Mama keluar kamar sebelumnya tersenyum dan menggodaku sesaat.
Hingga pukul 21.00, Mas Pras belum juga pulang. Ke mana dia? Kenapa belum juga memberi kabar? Aku mengambil gawai yang ada di nakas dan menekan nomornya. Suara sambungan telepon terhubung.
“Halo, Sayang. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, Mas. Kenapa belum pulang?”
“Masyaallah, Mas lupa. Mas sekarang lagi di rumah Ibu. Bapak demam, tadi sudah Mas antar ke dokter.”
“Ya Allah, jadi bagaimana sekarang Mas keadaannya?”
“Alhamdulillah sudah mendingan, Sayang. Mas enggak bisa pulang. Malam ini tidur di rumah Ibu, ya!”
“Siapa, Le?” Terdengar suara Ibu di sana.
“Dilla, Bu. Aku lupa bilang sama dia.”
“Kamu itu bagaimana. Kok, bisa lupa, sini biar Ibu yang bicara sama menantu Ibu itu.”
Kemudian terdengar suara keresek-keresek di sana, sepertinya Mas Pras memberikan ponselnya pada Ibu. “Halo, Nduk!”
“Iya, Bu.”
“Ini Pras, Ibu suruh pulang dari tadi. Kok, malam enggak pulang-pulang ini. Bagaimana to, Nduk?”
“Bu, aku kan ada di rumah Mama, di sini banyak orang. Enggak apa-apa, Mas Pras jagain Ibu sama Bapak dulu di sana, sampai Bapak benar-benar sehat.”
“Kamu enggak apa-apa, Nduk?”
“Enggak apa-apa, Bu. Beneran.” Aku meyakinkan.