Tidak terasa, sudah satu minggu kami menginap di rumah Mama. Hari ini, kami memutuskan pulang. Mama meminta Mbok Minah ikut bersama kami, karena Mbak yang bekerja di rumah kami memutuskan berhenti semenjak aku menginap di rumah Ibu saat itu. Kami pulang sama seperti saat pulang dari rumah Ibu. Mama menangis tersedu, saat berpisah dengan dua cucunya.
“Nanti kalau Nenek kangen bagaimana nih?”
“Janji deh rajin VC nanti, Ma,” janjiku.
“Janji, ya!” Mama mencium satu per satu cucunya dengan kesedihan.
“Kakek juga pasti kangen juga ini. Secara, setiap malam dengar suaranya nangis-nangis. Malam ini pasti sepi.” Papa juga mencium cucunya satu per satu.
“Aduh, Nenda juga bakal kangen nanti sama cucu-cucu yang super ngegemesin ini,” sambung Tante Rini. Dia menyebut dirinya Nenda, singkatan dari Nenek Muda.
“Nanti kalau sudah jadi sama Kenda, main dong Nenda ke rumah!” godaku, dan Tante Rini tersipu malu.
“Ya sudah, kami pamit, ya, semua. Mama, Papa, Bik Susi, Tante Rini, terima kasih untuk semuanya,” kata Mas Pras, kemudian menyalami mereka satu per satu, begitu juga aku. Kami masuk ke mobil dan perlahan mobil berjalan pergi.
Aku membuka kaca mobil dan melambaikan tangan pada mereka semua. Kuhapus setitik air mata yang mengintip dengan punggung tangan.
“Nanti kalau kangen, kita main lagi ke sini, ya,” hibur Mas Pras.
“Iya, Mas,” sahutku dengan suara serak, sementara Mbok Nah sibuk memberi susu Deni di jok belakang.
“Tidurkah Mbok, si Deni?” tanyaku sambil menoleh ke belakang.
“Bentar lagi kayaknya, Non. Matanya sudah berat ini.”
Aku kembali menghadap ke depan. Membelai lembut kepala Dini yang kini matanya sudah terpejam.
***
Hari-hari, kulalui dengan penuh suka cita. Makin hari, perkembangan dan pertumbuhan dua malaikat kecilku sangat membahagiakan. Aku sangat menikmati peranku menjadi seorang ibu. Semua yang diajarkan Mbok Minah tidak sulit kuterima. Aku sudah lancar memandikan bayi, mengganti popok, memakaikan baju, membuatkan susu, dan lain sebagainya. Masalahnya sekarang masih sama dengan kasus yang lama. Mas Pras belum menyentuhku, meskipun masa nifasku telah usai. Usia anak kami bahkan sudah memasuki bulan ke tiga. Hingga hari itu datang. Di hari Sabtu, Mas Pras datang bersama Ibu dan Bapak. Sesuai janjinya, kalau hari Sabtu Mas Pras akan membawa mereka untuk menginap. Aku senang mereka datang.
“Nduk, sana siap-siap!” kata Ibu mengingatkan.
“Siap-siap ke mana, Bu?” tanyaku penasaran.
“Kata Pras, mau mengajak kamu belanja bulanan.”
“Oh, ya? Kok, Mas Pras enggak bilang-bilang, ya?”
“Mungkin dia lupa.”
Aku mengangguk, dan segera menuju kamar kami. Ibu dan Bapak sedang ada di kamar tamu bersama dua malaikat kecilku. Sampai di kamar, Mas Pras baru selesai salat Isya. Dia sedang melipat sajadah. “Mas, katanya mau belanja bulanan?”
“Iya, Mas lupa bilang. Siap-siap, gih!” katanya.
Aku menurut, segera membuka lemari dan memilih baju untuk kupakai. “Mas nunggu di kamar tamu, ya. Mau pamit sama Ibu dan Bapak.”
“Iya, Mas.”
Mas Pras pun berlalu.
Selesai berpakaian, aku menyusul Mas Pras yang sedang menunggu di kamar tamu. Kami berdua pamit pada Ibu dan Bapak, tidak lupa pamit juga pada Mbok Minah yang sedang sibuk di dapur.
***
Mobil melaju membelah jalanan, Mas Pras memutar musik klasik. Dia menyetir hanya menggunakan sebelah tangan, sedangkan satu tangan terus menggenggam jemariku. Sesekali, dia mencium punggung tangan ini. Jujur saja, lama dia tak bersikap semanis ini. Mas Pras bilang, dia akan mengajak ke sebuah supermarket, tapi sepertinya ini bukan jalan menuju ke sana.
Mobil berhenti di sebuah kafe. Dia mengajak turun, terus menggandeng tanganku. Sampai di dalam, kami duduk di meja paling depan. Suasana cukup ramai, dengan lampu remang-remang. Dua pelayan datang membawa pesanan. Di depan sana, anak-anak band sudah bersiap menyanyikan lagu pertama.