Deni dan Dini tumbuh dengan bahagia dan baik. Setiap kali aku membawanya untuk imunisasi semua orang gemas melihatnya. Aku selalu ditemani mama atau ibu, mengingat harus membawa dua bayi kembar sekaligus. Kadang malah Mas Pras yang menemani, jika ia sedang libur.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Deni dan Dini sudah berusia 6 tahun. Dua buah hati kami tumbuh menjadi anak yang pintar dan lincah. Mereka juga sangat manis dan baik. Garis wajah Deni lebih banyak mirip denganku, sementara Dini lebih ke Mas Pras. Meskipun saat disejajarkan muka mereka sama, hanya genrenya membedakan.
Aku dan Mas Pras sepakat, tidak boleh membandingkan keduanya, mengingat kejadian dimasa lalu yang dihadapi oleh Mas Doni dan Mas Pras. Setiap Minggu mama dan ibu bergantian datang ke sini untuk menjenguk cucunya. Mereka bahkan sudah meminta aku untuk menambah momongan. Sayangnya aku belum siap, dan masih ingin fokus ke si kembar yang sedang dalam masa pertumbuhan.
Malam itu setelah Dini dan Deni tidur aku dan Mas Pras sedang duduk di balkon rumah. Dimeja sudah tersedia teh hangat dan roti selai, juga buah-buahan. Aku duduk sambil menyandarkan kepala ke bahu lelakiku. Menikmati indahnya suasana kota malam itu. Kami sudah pindah ke kota, sementara rumah lama kami kontrakkan.
"Sayang."
"Iya, Mas?"
"Kamu bosen nggak sama Mas?"
Aku menarik kepala dan menatap wajah lelakiku lekat.
"Aku nggak akan pernah bosen sama kamu, Mas," sahutku seraya mengusap janggut tipisnya. "Yang ada nanti Mas yang melirik wanita muda yang lebih cantik dari aku."
Aku mengalihkan pandangan. Ada rasa takut yang menyusup dalam kalbu. Terlebih, gadis-gadis sekarang banyak yang suka sama om-om dibandingkan bujangan. Kata mereka lebih matang dan mapan yang bikin para istri rata-rata jadi super posesif ke suaminya.
"Masih nggak percaya sama, Mas?" Mas Pras menyandarkan dagunya ke bahuku, sementara aku cemberut.
"Abisnya. Mas itu kan guru di dekat universitas, pasti banyak lihat gadis-gadis yang bening dan masih muda."
"Sayang." Mas Pras memeluk dan aku masih diam. "Jangan berpikir terlalu jauh. InshaAllah Mas akan selalu jaga hati Mas buat kamu."
Aku sedikit menoleh, kemudian tersenyum. "Janji, ya!"
"Janji, Sayang," sahutnya seraya mencium pipiku.
Aku tersenyum, berbalik dan kami berpelukan. Aku melerai pelukan dan mulai menceritakan kegiatanku di rumah bersama si kembar. Dari mulai mengantar mereka sekolah sampai mengantar mereka tidur kuceritakan. Lelakiku hanya diam memperhatikan, sesekali dia tertawa saat mendengar cerita lucu dariku. Kemudian menenangkan saat melihatku sedikit kesal. Inilah kegiatan kami setiap malam. Duduk di balkon atau meja makan hanya untuk berbagi cerita dan yang lebih banyak cerita adalah aku. Mas Pras hanya menjadi pendengar setiaku.
**
Hari ini kami akan menghadiri pernikahan Mbak Zahra. Sepupu dari Mas Pras. Ia menikah dengan Aries, sahabatnya Mas Pras di sekolah. Aries sudah menjadi duda selama dua tahun lamanya. Lima bulan yang lalu ia datang dan berkeluh kesah. Mas Aries minta dicarikan jodoh untuk teman hidupnya. Entah ide dari mana tiba-tiba Mas Pras menyebut nama Zahra, hingga diadakan pertemuan keluarga. Awalnya Mbak Zahra ragu, tapi setelah melihat Mas Aries dia langsung setuju.
Kami sekeluarga memakai baju couple berwarna coklat. Mas Pras tampak gagah, tampan dan matang memakai baju ini. Aku mendekat saat ia berdiri di depan cermin. Kupilih posisi berdiri di sampingnya. Mas Pras tersenyum dalam cermin, kemudian menoleh kepadaku.
"Kamu cantik!"
"Mas juga ganteng."
"Suaminya siapa dulu dong!" katanya seraya mengangkat kerah baju yang membuat aku tertawa.
Tiba-tiba si kembar datang dan menarik tangan kami berdua. Ternyata di luar sudah menunggu rombongan keluarga. Aku segera menyambar tas dan memakainya. Tidak lupa memakaikan sepatu untuk Deni dan Dini dan merapikan rambut mereka.
"Wahh, cucu cucu nenek cantik sekali!" seru Ibu yang baru saja datang.
"Cucu oma juga ganteng sekali!" sambung mama langsung berdiri mendekati Deni.