Jodoh Untuk Prasetyo

Selvi Nofitasari
Chapter #31

Akhir yang Sempurna (POV Prasetyo)

Aku sedang duduk di sebuah cafe, sendirian. Menikmati secangkir kopi susu hangat sambil memandang ke arah jalan besar. Sesekali senyumku merekah ketika ingat jalanan terjal yang dulu kulalui bersama Dilla. Lucu, itu yang terekam dalam pikiran. Aku pikir dulunya Dilla itu adalah wanita dewasa yang akan menjadi istri seperti wanita lain pada umumnya, nyatanya aku harus berjuang lebih keras, selain untuk merebut hatinya juga untuk membimbingnya, karena sifat dan sikapnya yang masih seperti anak-anak.

Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum senang jika ingat pertengkaran kami berdua. Aku yang selalu menahan rasa setiap kali ada di dekatnya. Aku yang selalu berusaha terus bersabar menghadapi sikapnya yang seperti anak-anak dan mudah sekali marah. Tidak bisa masak, tidak bisa beres-beres rumah, bahkan memakai tali sepatu pun ia tidak bisa. 

Aku tidak menyangka dia bisa jadi istri yang super sempurna seperti sekarang, meskipun sedikit cerewet dan posesif, tapi itu bukan masalah yang besar. Aku kembali mengangkat gelas kopi dan menyeruput isinya hingga habis tak bersisa, setelahnya berdiri, lalu membayar dan keluar dari cafe untuk kembali ke sekolah. Ya, aku masih kerja sebagai PNS disebuah kota di dekat universitas dan Alhamdulillah kini sudah menjabat sebagai kepala sekolah. 

Anak-anak kami sudah mulai tumbuh menjadi anak yang dewasa. Mereka, Deni dan Dini tahun ini juga lulus dari Sekolah Menengah Atas. Rencana, mereka akan melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia. Aku tidak pernah memaksa mereka menjadi seperti yang kuinginkan, tapi aku mengarahkan supaya mereka bisa fokus di mana kemampuan dan apa yang mereka sukai selama ini.

Kubuka pintu mobil, lalu melesat masuk ke belakang kemudi. Selanjutnya meninggalkan parkiran cafe ini. 

Saat di jalan ponsel berdering, tertera nama my wife di layarnya. Aku menghentikan laju kendaraan di pinggir jalan untuk mengangkat teleponnya. 

"Halo, assalamualaikum. Iya, Sayang?" 

"Mas, gas abis!" 

"Loh nggak minta tolong Mas Pur aja, Sayang ke warung?" Mas Pur adalah tukang kebun yang kini bekerja di rumah kami.

"Nggak mau, nggak enak ah! Mas aja. Pokoknya cepet ya, aku sama Mbak Tuty mau masak!" 

Aku tersenyum kecil dan mematikan teleponnya, setelah itu memutar arah untuk kembali ke rumah. Dia, masih saja seperti itu. Padahal di rumah banyak orang, tapi dia selalu meminta tolong padaku. Beberapa teman bertanya, apa tidak repot memiliki istri yang seperti itu? Kukatakan, tidak sama sekali. Dengan Dilla bersikap seperti itu, berarti dia masih membutuhkanku dan dia ingin aku melakukan semua itu untuknya. 

Kapanpun dia menelepon, kalau aku bisa membantu, aku akan pulang dan membantu. Namun, jika tidak bisa, aku akan meminta orang lain untuk melakukannya. Sampai di rumah aku disambut dengan wajah cemberut Dilla. Wanitaku kesal, karena aku nyampenya lama. 

"Maaf, Sayang. Mas tadi posisinya lumayan jauh dari rumah."

"Ya udah, nggak apa-apa. Cepet beliin gas nya!" 

"Iya iya ... " Aku mengusap pucuk kepalanya, lalu memanggil Mas ,Pur untuk meminta tolong melepas gasnya. "Mas, ke warung dulu ya!" pamitku setelah Mas Pur menyerahkan gas itu.

"Iya, jangan lama!" 

"Siap!" 

Aku langsung menuju garasi dan memilih menaiki sepeda motor untuk menukar gas. Warung untuk menukar gasnya tidak jauh, hanya 1000 km dari rumah. Sampai di sana pemilik warung tersenyum padaku. Dia hapal jam kerjaku, dan dia sudah pasti tahu kalau aku pulang pasti karena Dilla, karena ini bukan untuk pertama kalinya.

"Ya ampun, Pras. Salut sama sampean, udah ganteng, baik, cakep, soleh dan sayang banget sama istrinya." 

"Duh, sampean suka berlebihan loh, Pak. Apa yang saya lakukan adalah kewajiban saya sebagai suami, jangan dilebih-lebihkan." 

"Kamu itu sempurna loh, Pras. Semoga Allah membalas kebaikanmu." 

"Aamiin, Yo wes. Saya pamit ya, Pak."

"Oh iya, silakan, Pras." 

Aku undur diri dan langsung pulang ke rumah. Sampai di rumah langsung kupasangkan gas supayaDilla tidak lagi memasang muka yang muram, ia tersenyum sambil memeluk dan mengucapkan terimakasih setelah gas terpasang sempurna.

"Ya udah, Mas kembali bekerja, ya!" 

"Iya, makasih ya, Mas!" Ia melepas pelukan dan mencium punggung tanganku dengan takzim. 

"Dini sama Deni mana?" 

"Keluar sebentar, buat ngurusin legalisir ijazah untuk keperluan masuk universitas."

"Mereka bawa mobil?" 

"Bawa motor bebek, Mas. Katanya enak naik sepeda motor, bisa lebih cepet dan ngindarin macet." 

Aku mengangguk tanda mengerti, setelahnya pamit kembali ke sekolah. Perjalanan ke sekolah tanpa sengaja aku melihat Deni dan Dini di sebuah taman kota. Mereka duduk bersama anak-anak pengemis jalanan. Karena penasaran aku berhenti. Masih dari dalam mobil aku memperhatikan apa yang mereka lakukan. Bibirku tersenyum bahagia, saat melihat Dini membagikan roti-roti kepada mereka, lalu Deni membawa sebuah buku, seperti menjelaskan sesuatu. Kukeluarkan hape dan mengabadikannya, setelah itu mengirimnya pada ibu mereka di rumah.

Lihat selengkapnya