“Le ... bangun! Shalat subuh dulu.” Ibu menggoyang–goyang tubuhku. Dengan malas aku bangun dan berusaha duduk, masih mengantuk sekali rasanya. Semalaman aku tidak bisa tidur.
“Kamu kenapa tidur di sofa? Istrinya kok dibiarkan sendirian.”
“Ketiduran, Bu.”
“Gimana sih Le, gimana Ibu cepet nimang cucu kalau begini?”
Mendengar kata-kata cucu kantuk hilang seketika. Aku langsung berdiri dan hendak berjalan ke arah kamar. Kalau tidak, Ibu bakal membahas hal yang lainnya.
“Aku shalat subuh dulu, Bu!” kataku cepat, sedikit berlari aku meninggalkan Ibu yang terlihat bingung di sana.
Sesampainya di depan pintu, aku diam mematung. Ragu, harus masuk atau tidak, kira-kira singa betina itu mengunci pintunya atau tidak, ya? Dengan sangat hati-hati kuputar gagang pintu perlahan.
Ceklek!Terbuka.
Aku lega karena Dilla tidak menguncinya. Mengendap-endap aku masuk kamar. Rasanya kok seperti pencuri di rumah sendiri.
Si singa betina masih tidur pulas ternyata, dengan selimut menutupi sebagian tubuhnya. Aku melangkah sangat hati-hati menuju kamar mandi. Tapi eits, apa itu? Bingkai foto tergeletak di samping kepalanya, foto siapa, ya? Aku menghentikan langkah, tapi masa bodo’ ah. Lagi, aku melangkah perlahan, lalu kembali berhenti dan menoleh ke arah ranjang.
Haish!! Pake penasaran lagi.
Oke aku harus melihat foto siapa itu. Perlahan aku mendekatinya, sesampainya didekat ranjang aku membungkuk dan mengulurkan tangan untuk meraih bingkai.
‘Jangan bangun ya Allah, jangan bangun jangan bangun!' Batinku berkata. Alhamdulillah dapat! Aku langsung melihat foto siapa ini. Untuk beberapa saat aku tertegun menatapnya. Ternyata ini foto Doni, dengan gagahnya adikku memakai seragam tentara, tersenyum manis melambaikan tangannya. Reflek kusentuh wajah Doni dalam foto.
"Mas kangen Don," lirih bibir ini berucap.
Aku saja merasa rindu, bagaimana dengan wanita yang itu? Tiba-tiba ada rasa iba menelusup di hati. Melihat wajah teduhnya saat terlelap seperti ini. Kembali kutatap wajah ceria Doni dalam foto.
‘Don, istrimu baik-baik saja. Jangan khawatir. Eh, istrimu apa istriku, ya?' bingung.
‘Don, istrimu yang kini menjadi istriku baik-baik saja. Jangan khawatir!’ aku sedikit tersenyum, ini baru benar, rasa penasaranku sudah hilang. Kukembalikan foto pada tempatnya.
Setelah meletakkan foto Doni, aku buru-buru ke kamar mandi, mengambil air wudhu dan shalat subuh. Selesai shalat, kulipat sejadah lalu meletakkannya di dalam lemari pakaian. Singa betina ini bangunin nggak, ya? Memangnya dia nggak shalat subuh? Jangan-jangan dia nggak pernah shalat atau bisa jadi lagi dapet tamu bulanan?
Mataku membulat mengingat wanita yang lagi datang bulan. Kata orang, wanita yang lagi datang bulan biasanya emosinya semakin tinggi. Ih kok jadi serem sendiri. Buru-buru aku berdiri dan melangkah pergi.
***
“Masak apa, Bu?” tanya Dilla sembari menguncir rambutnya. Terlihatlah lehernya yang jenjang dan putih. Aku mengalihkan pandangan, kan nggak enak ya cuma bisa liat nggak bisa nyentuh.
“Mau masak bakwan, Nduk. Kesukaannya Pras.”
“Oh ... Mas Pras suka bakwan, ya?” tanyanya menoleh ke arahku, dengan senyum palsunya. Halah! Lagu lama.
“Oh iya, dia suka banget malah. Sepiring, bisa dihabisin dia sendirian hihihi.” Ibu terkikik sembari berbisik.
Ish!
Ibu bisik-bisiknya nggak niat banget, aku yang duduk di kursi meja makan masih bisa mendengar. Aku kan jadi malu. Untung posisiku lagi main gawai di tangan, jadi pura-pura tidak mendengar saja.
“Mas, mau aku bikinin kopi?” tanya Dilla sok ramah.
“Dia minumnya teh, bukan kopi, Nduk!” Ibu mengingatkan.
“Ohh gitu, Mas mau aku buatin teh?”
'Ah, kenapa dia harus tersenyum seperti itu.'
“Boleh,” jawabku singkat tanpa menoleh ke arahnya.
Kemudian wanita itu tampak sibuk membuatkan aku teh, lalu meletakkannya di meja. Entah apa yang mereka bicarakan, kadang cekikikan, kadang saling berpelukan. Aku hanya sesekali melirik mereka, lalu kembali fokus menatap layar gawai. Sepertinya tehnya sudah bisa di minum. Dengan mata yang masih menatap layar gawai kuambil secangkir teh di meja. Namun, mengejutkan.
Byyuur!