Jodoh Untuk Prasetyo

Selvi Nofitasari
Chapter #3

Peringatan dari Pras (Pov Prasetyo)

Sekembalinya dari makam kulihat Dilla sudah tak ada lagi di tempat aku memarkir sepeda motor tadi. Mungkin ia sudah pulang lebih dulu. Aku menaiki sepeda motor dan memutuskan menyusul pulang. Diperjalanan pikiran tak tenang, terus terbayang kata-kata wanita itu di pemakaman. Apa aku harus pisah saja, ya? Tapi melihat sikapnya pada Ibu dan Bapak rasanya aku tidak tega. Wanita itu begitu lembut dan penurut kepada kedua orang tuaku, dia juga santun. Dalam hal ini aku harus mematahkan salah satu hati, mematahkan hatiku atau mematahkan hati kedua orang tuaku.

Sejak dulu aku tidak pernah membantah apapun yang mereka katakan. Karena aku tahu, mereka lebih mengerti yang terbaik untuk anaknya. Lalu, bagaimana harus kulalui pernikahan tanpa rasa cinta ini?Jujur, aku mulai ingin membuka hati untuknya, belajar menjadi suami yang baik untuknya, tapi dengan sikapnya yang sekarang, bisakah aku bertahan? Bisakah meluluhkan hatinya? Ada yang bilang cinta hadir karena terbiasa. Mungkin aku harus membiasakan diri dekat dan terus berada di sisinya, agar dia juga mulai terbiasa denganku. 

Karena konsentrasi pikiran terbagi aku jadi tidak fokus mengendarai sepeda motor ini dan nyaris menabrak kucing yang lewat di tengah jalan.

"Meoowww," teriak kucing itu yang membuatku kaget bukan kepalang. 

"Astagfirullahhalazim!" 

Dengan cepat aku menepi ke pinggir jalan. Mengelus dada dan terus beristighfar. Setelah agak tenang, kusapukan pandangan ke sekeliling tempat ini. Ternyata di sini terdapat danau yang tidak terlalu luas, tapi cukup indah untuk dipandang. Kuparkir sepeda motor di bawah pohon akasia. Lalu memutuskan istirahat sejenak. Duduk menatap ke arah danau sambil sesekali melempar batu kerikil untuk melepas beban yang mulai menumpuk di dada.Aku mencoba memejamkan mata, mencari kenyamanan yang beberapa hari ini tak kudapatkan di rumah semenjak aku menikah. Aku butuh ketenangan setelah mengetahui kebenaran, kebenaran bahwa istriku mau menikah hanya untuk membalas dendam.

Menghadapi wanita ini ternyata lebih sulit dari menghadapi puluhan anak SMP. Anak SMP yang berbaris tidak rapi saat upacara diteriaki satu kali saja langsung berusaha merapikan diri masing-masing. Sedangkan wanita ini? 

Hadeh, pusing kepala! 

***

Sampai di rumah, kuparkir sepeda motor di halaman, lalu melepas sandal jepit di depan pintu, kemudian masuk.

"Pras, kok nggak bareng pulangnya sama Dilla?" tanya Ibu saat aku melintas di ruang tengah.

"Ban sepeda motor tadi pecah, Bu. Takut kelamaan jadi Dilla aku suruh pulang duluan."

"Ya udah, Ibu pikir kenapa. Dia sudah cerita belum ke kamu kalau dia mulai kerja besok?"

Dahiku mengerut mendengar Ibu bicara, kalau aku bilang tidak tahu Ibu akan curiga dengan hubungan kami.

"Oh yang itu, iya dia sudah bilang kok, Bu."

"Syukurlah ...," sahut Ibu. 

Aku tersenyum kemudian pamit masuk kamar pada Ibu, sebelumnya memberikan semua belanjaan padanya. Aku kembali berjalan menuju kamar. membuka pintu dan masuk ke dalam. Melihat kedatanganku Dilla sedikit terkejut, posisinya yang semula berbaring kini duduk bersandar di kepala ranjang.Aku membuang muka saat melintasinya, langsung menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ini pertama kali, biasanya aku akan menunggu dia keluar kamar terlebih dahulu baru masuk dan melakukan aktivitas seperti mandi atau sekedar shalat. Sampai di dalam kamar mandi baru sadar. 

Tepok jidad!

Lihat selengkapnya