Jodoh Untuk Prasetyo

Selvi Nofitasari
Chapter #4

Makan Bakso (Pov Prasetyo)

Aku memunguti bantal, guling dan selimut di lantai. Sedangkan Dilla masih menangis menelungkupkan badan. Ingin sekali aku memeluknya dan minta maaf karena sudah membuatnya ketakutan, tapi kuurungkan niat.Kubentang tikar tipis sebagai alas tidur di lantai untuk malam ini. Berbaring dan memutar lagu dari gawai menjadi pilihan yang tepat. Volume sengaja full agar wanita itu mendengarnya juga, siapa tahu dia akan diam lalu tertidur pulas. 

Sebuah lagu dari Virza yang berjudul 'Aku Lelakimu kuputar'

Datanglah bila engkau menangis

Ceritakan semua yang engkau mau

Percaya padaku aku lelakimu

Mungkin pelukku tak sehangat senja

ucapku tak menghapus air mata

Tapi kudisini sebagai lelakimu

Aku lah yang tetap memelukmu erat

Saat kau berpikir mungkinkah berpaling

Aku lah yang nanti menenangkan badai

Agar tetap tegar kau berjalan nanti

Sudah benarkah yang engkau putuskan

Garis hidup sudah engkau temukan

Engkau memilihku sebagai lelakimu

Aku lah yang tetap memelukmu erat

Saat kau berpikir mungkinkah berpaling

Aku lah yang nanti menenangkan badai

Agar tetap tegar kau berjalan nanti

Aku lah yang tetap memelukmu erat

Saat kau berpikir mungkinkah berpaling

Aku lah yang nanti menenangkan badai

Agar tetap tegar kau berjalan nanti

Seiring lagu itu terputar, tangis wanita itu tak terdengar lagi. Aku melongok ke atas, menyelidik. Ternyata benar, istriku ini sudah mulai pulas dengan memeluk foto Doni di dada. Kembali rasa iba menelusup di sini, terlebih melihatnya tertidur pulas seperti ini. Kudekati tubuhnya yang berbalut baju tidur bergambar mickey mouse berwarna pink, wajah itu masih basah oleh air mata. Aku menarik selimut hingga menutupi tubuhnya, mengambil foto Doni perlahan lalu meletakkannya di atas nakas.

Terlihat beberapa helai rambut menutupi wajahnya yang ayu. Pelan, kutiup wajah itu agar helaian rambut menyingkir dari sana. Dengan sangat hati-hati aku naik ke atas ranjang, lalu merebahkan tubuh dengan posisi miring menghadap ke arahnya. Kedua telapak tangan kujadikan pengganti bantal. Aku menikmati pemandangan wajah cantik mahluk Allah ini pas di depan mata, kurang puas aku lebih mendekatkan lagi wajah padanya. Dengan jarak sedekat ini aku menelusuri setiap lekuk wajahnya. Alis yang tebal, Bulu mata yang lentik, hidung yang mancung, bibir yang tipis dan ....

Ahhh!

Lama-lama aku bisa khilaf. Dengan debaran hati yang semakin menjadi, kupaksakan diri turun dan kembali berbaring di lantai. Sialnya mata tak mau terpejam, kulirik jam di atas kepala ranjang. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam.

***

Samar-samar suara azan subuh membangunkanku. Menggeliat tubuh lalu duduk menyadarkan diri yang barusan terbangun dari mimpi. Aku menoleh ke arah ranjang, si singa betina itu tidak ada lagi di sana, kemana dia?Aku baru menyadari suara keran terbuka yang berasal dari kamar mandi, tidak berapa lama pintunya terbuka. Aku bengong melihat wanita itu keluar dari sana, sepertinya dia baru saja mandi karena rambutnya basah.

Dengan wajah cemberut ia melewatiku, lalu membentang sajadah dan shalat terlebih dahulu. Padahal aku sudah sempat salah sangka loh, aku kira dia tidak pernah shalat karena aku tidak pernah melihatnya, astaghfirullah. Aku belum beranjak dari sini, masih duduk memandangi wanita itu yang mulutnya komat-kamit membaca bacaan shalat dengan fasihnya. Syahdunya rasa hati melihat istriku yang ternyata sholehah. Tanpa sadar aku tersenyum sendiri.

"Hey tua bangka, kamu ngapain liat-liatin aku kayak begitu?" bentak Dilla tiba-tiba sembari melepas mukena setelah usai melaksanakan shalat. 

Aish perempuan ini.

"Tumben pagi-pagi mandi?" tanyaku sok tahu, padahal biasanya juga nggak tahu, soalnya baru kali ini satu kamar.

"Aku MANDI WAJIB, semalem di gerayangin dedemit," ucapnya dengan wajah kesal.

Lalu pergi keluar meninggalkanku sendiri di kamar begitu saja. Sungguh terlalu memang, dia bilang aku dedemit? Kalau aku dedemit maka dia setan alasnya, dedemit sama setan alaskan berjodoh kan, ya? Mungkin saja. hehehe

Di meja makan semua orang sudah siap untuk sarapan pagi. Lagi, kuberanikan diri duduk di sisinya, kali ini tatapannya tidak sekaget semalam.

"Nduk, Ibu sudah bicara sama Pras semalam. Kalau minggu depan kalian akan pindah ke rumah baru. bukan Ibu tidak suka kalian di sini. Ibu bahkan sangat bahagia memiliki teman berbagi. Ada pepatah yang bilang 'Rumahku istanaku' itu bener, Nduk. Kita bisa melakukan apa saja di rumah kita sendiri, sejelek apa pun rumah kita jika milik sendiri pasti akan lebih terasa nyaman dan bebas."

Dilla hanya tersenyum manis mendengar perkataan Ibu.

"Maksud Ibu gini loh, Nduk. Mungkin jika di sini kalian mau melakukan apa-apa ada rasa tidak enak sama Ibu dan Bapak, kalau di rumah sendiri kan bisa lebih leluasa," lanjut Bapak.

"Iya Pak, Dilla mengerti. Terima kasih banyak, ya."

"Ya sudah sarapan dulu, kamu mau pergi bekerja kan? Makan yang banyak, ya! Nanti kalau kamu kurus dikira Mama sama papamu nggak di kasih makan di rumah Ibu," Ibu mencoba melawak.

Wanita itu tersenyum tipis, lalu mengambilkan piring untukku dan mengisinya dengan nasi goreng dan telor mata sapi.

Lihat selengkapnya