Jodoh Untuk Prasetyo

Selvi Nofitasari
Chapter #5

Ciuman Pertama Prasetyo (Pov Prasetyo)

Hari ini hari minggu. Bapak dan Ibu memaksaku mengajak singa betina itu jalan-jalan ke kota. Meski awalnya kami berdua menolak, tapi karena desakan mereka akhirnya kami meng--iyakan. Bapak menelepon salah seorang kerabat untuk meminjam sebuah mobil, karena kalau naik sepeda motor takutnya kehujanan di jalan. Akhirnya kami pergi ke kota berdua dengan meminjam mobil milik saudara.

Di perjalanan Dilla dan aku hanya diam, cuma suara radio yang membuat kebisingan.S etengah perjalanan tanpa kusadari ternyata ia terlelap. Sekilas aku menoleh kearahnya karena sejak tadi kupaksakan diri untuk tidak melihat ke arah sana. Aku baru menyadari ternyata singa betina ini lupa mengenakan sabuk pengaman.  Kuhentikan mobil di pinggir jalan, berniat memakaikan sabuk pengaman untuknya. Pelan-pelan kutarik sabuk pengaman lalu melingkarkan ke tubuh rampingnya. Debaran di hati bertabuh keras ketika sekilas wajah kami berdekatan. 

Perlahan ... kudekatkan tangan pada wajah ayunya. Aku menyentuh wajahnya dengan ujung jari telunjuk dari kening turun ke hidungnya yang mancung, kemudian setelah diam sesaat jari telunjuk ini kembali bergerak meraba bibir tipisnya kemudian turun lagi ke dagu, ia masih tertidur pulas. Kubelai rambutnya, ia masih tak terjaga. Kuberanikan diri mengecup keningnya. Ada rasa yang tak bisa kuungkapkan dengan kata, sejuk seketika hinggap menyelinap di sanubari. Kupejamkan mata, mencoba meresapi rasa yang tak biasa ini, seperti ada bongkahan es yang meleleh di sini, sejuk dan nyaman sekali. 

Tiba-tiba tubuh Dilla menggeliat yang membuatku terkejut dan jantung serasa hampir melompat dari tempatnya. Cepat-cepat aku menjauh dan kembali menyalakan mesin mobil untuk melanjutkan perjalanan. Bersyukur ia kembali terlelap.

***

Setibanya di kota aku membelokkan mobil ke sebuah mall. Berharap wanita yang bersamaku ini bahagia jika kuminta belanja pakaian atau yang lainnya. Mobil sudah berhenti di parkiran, tapi perempuan ini masih tertidur pulas.

"Hey, bangun!" Panggilku seraya menjawil lengannya. Ia mengucek mata beberapa kali. Lalu mengedarkan pandangan ke sekitar. 

"Udah sampai?" tanyanya dengan mata menyipit.

"Udah, ayo turun!" ajakku.

Kami turun dari mobil secara bersamaan dan berjalan beriringan. Tiba-tiba singa betina menghentikan langkah, lalu menoleh dan menatap tajam. 

"Kamu atau aku yang jalan duluan?" Tanyanya sedikit membentak. 

"Begini aja nggak boleh?" Aku balik bertanya. 

"Bukan nggak boleh, tapi aku nggak mau jalan sama kamu!" Serunya geram dengan mata melotot dan muka jutek. Aku ngelus dada. 

"Oke, ladies first!" kataku mempersilahkan dia berjalan lebih dulu, sedangkan aku mengekor dari belakang.

Sampai di dalam ternyata suasana mall cukup ramai, kebetulan juga ada artis ibukota yang mengisi acara. Namun Dilla tampaknya cuek dan tak mau singgah walau sebentar. Ia tetap berjalan melewati kerumunan orang seperti tidak berniat untuk melihat acara itu terlebih dahulu. Akhirnya kami naik ke lantai atas untuk melihat pakaian. Berjalan ke sana lalu ke sini, ke kanan lalu ke kiri, berputar-putar melewati baju yang itu itu lagi. Tapi tak ada yang diingini oleh wanita ini.

Lelah? 

Jangan ditanya, begini toh rasanya menemani wanita berbelanja. Biarpun lelah, tapi aku bahagia melihatnya antusias dan penuh semangat seperti ini. Setelah cukup lama akhirnya Dilla memilih dua buah baju, alhamdulillah. Kami menuju ke ruang ganti pakaian untuk mencoba.

"Kamu tunggu di sini dulu, aku mau coba pake yang ini!" Dilla menunjukkan dua baju di tangan.

aku diam saja, menyandarkan punggung pada dinding yang ada di dekat hordeng penutup ruang ganti pakaian. Dia masuk beberapa saat, setelah itu keluar dengan raut wajah yang tampak kebingungan.

"Mas, menurut kamu bagus yang warna item apa yang coklat ya? Eits, tapi kamu jangan GR dulu ya! aku cuma minta pendapat, nggak lebih!" tanya singa betina sambil memicingkan sebelah mata lalu menunjukkan dua baju di tangan. 

"Menurut ak-"

"Stop! Aku nggak perlu pendapat kamu. Pasti pendapat kamu kayak pendapat bapak-bapak. Kitakan beda selera!" ucapnya cepat memotong kalimatku. Aku hanya menggelengkan kepala. 

Dilla menenteng dua baju ke atas seperti bingung menentukan dua pilihan. Matanya secara bergantian menatap baju di tangan.

Celakanya ....

Kini mataku fokus ke bibirnya yang sedang bergumam, antara gemas dan geram, juga kesal. Singa betina ini terus bergumam sendiri, entah apa yang dikatakannya. 

Okeee, baiklah. Sepertinya inilah saatnya!

Secara tiba-tiba kutarik tangannya masuk ke ruang ganti pakaian, lalu menguncinya di dinding dengan kedua tangan. Baju di tangannya jatuh berserakan. Matanya membulat tidak percaya, dahinya mengerut kebingungan. Mataku menatapnya lekat, meskipun debaran jantung bergemuruh seperti akan runtuh kali ini aku tidak akan gentar. Dilla berusaha mendorong tubuhku ke belakang.

"Ma ... Mas, kamu mau apa!" tanyanya gelagapan.

Aku diam saja, sudah terlanjur gemas dan tak bisa menahan. Kudekatkan wajah mendekatiny hingga wajah kami semakin dekat ... dekat ... Dan kini tak bersekat. Hangat kurasakan hembusan napasnya. Kedua tangannya menekuk didepan dada mencoba jadi pembatas, antara dadaku dan tubuhnya. Dia memalingkan muka dan memejamkan matanya kuat-kuat.

Lalu .... 

Hap! Kena. 

Tangan Dilla masih berusaha mendorong tubuh ini Namun, ahirnya pasrah dengan keadaan. Ibarat menikmati sebuah es krim. Rasa bibirnya, Lembut, dingin, manis ...

Semula tangannya berada di depan dada, Lama-lama dengan perlahan turun ke pinggang, lalu meremas ujung kemejaku, yang membuat desiran di dadaku semakin menjadi. 

Meski awalnya menolak, tapi kini ia sepertinya mulai menikmatinya juga. Aku melepaskan ciuman dan memandang wajah cantik di hadapan. Matanya masih terpejam dengan pipi yang merona merah, bibirnya sedikit terbuka. Aku tersenyum dan kini membingkai kedua pipinya dengan tangan, lalu mencumbunya sekali lagi. Kali ini si singa betina membalas, malah melingkarkan tangannya di pinggang. Setelah beberapa saat aku melepaskannya, kutatap lagi wajahnya, anehnya wajah yang awalnya merona kemerahan kini semakin memerah. Entah malu atau marah, aku bingung jadinya. Namun napasnya tersenggal. Digigit bibirnya kuat-kuat, lalu mendorongku ke belakang.

Brukk!

Aku tak tahu, aku yang kehabisan tenaga atau tenaga wanita itu yang bertambah kekuatannya setelah tersetrum bibirku barusan. Yang jelas aku limbung, merasa melayang dan pandangan pun berkunang.

Lihat selengkapnya