Jodoh Untuk Prasetyo

Selvi Nofitasari
Chapter #6

Pindah ke Rumah Baru (Pov Prasetyo)

Kami sibuk membereskan pakaian dan barang-barang yang akan dibawa ke rumah yang baru. Ibu dan Bapak juga sedang sibuk membantu. Kebetulan mobil saudara yang kami pakai tempo hari kini sudah menjadi milikku. Karena Pakde ingin membeli kendaraan roda empat yang baru, sehingga mobil yang lama diberikan kepadaku. 

Ups! 

Bukan diberikan, tapi lebih tepatnya Pakde memintaku membelinya. Kebetulan sisa uang pembuatan rumah cukup dan keadaan mesin serta bodynya masih mulus, maka aku pun mengiyakan. Rasanya masih seperti mimpi, aku masih belum percaya jika sekarang aku telah memiliki istri. Yah ... mekipun belum bisa disebut istri yang sesungguhnya, setidaknya statusku menikah saat ini. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini adalah kehendak Sang Ilahi, pasti ada alasan tersendiri mengapa Allah memilihkan Adilla Rastanti itu menjadi istriku. Aku memandangi wajah Ibu yang mulai keriput, dia yang paling sibuk membereskan ini dan itu. Belum lagi petuah-petuah yang disampaikannya padaku, jika dicatat mungkin lebih dari satu buku. Panjang sekali!

Ah Ibu ....

Ingat di waktu kecil dulu, dia selalu menjadi pelindungku, peneduh laraku. Doakan aku bisa membimbing menantumu menjadi istri yang taat dan patuh. Meskipun aku tahu, itu ibarat ingin meraih rembulan di atas sana. Jauh sekali rasanya. Semoga Allah senantiasa memberikanmu kesehatan dan umur yang panjang sampai aku bisa memberikanmu seorang cucu. Uhuk! Kini mataku tertuju pada sosok yang berwibawa dan bertanggung jawab. Seperti biasa, Bapak sedang membaca koran dengan teh hangat di hadapan.

Bapak ...

Masih jelas diingatan, sikap Bapak yang bersahabat kepada kami, anaknya. Namun, tetap berwibawa. Bapak tidak pernah menilai segala sesuatu hanya dari sudut pandangnya saja. Dia akan memecahkan masalah dari dua sudut pandang yang berbeda, jika Bapak mengambil kesimpulan, ia akan mengambil keputusan di tengah-tengah, sehingga tidak pernah berat sebelah.

Bapak .... 

Kini putramu sudah menikah. Doakan supaya bisa menjadi suami dan ayah sepertimu, menjadi seorang kepala keluarga yang baik dan bertanggung jawab. Setelah mengurus ini dan itu, tepat setelah shalat Zuhur kami bersiap untuk berangkat. Bagiku hal terberat adalah berpamitan pada Ibu dan Bapak. Aku tahu Ibu pasti akan menangis mengantar kepergian kami, dan ini sangat berat, lebih berat dari rasa rindunya seorang Dilan. Kini kami berdua sudah berdiri di depan pintu hendak berpamitan. 

“Le ....” Ibu mengusap lenganku berkali-kali sedangkan sebelah tangannya menutup mulutnya sendiri. Wajah Ibu sudah basah oleh air mata. Keningnya berkerutan menandakan beliau sedang menahan kesedihan yang mendalam.

“Ibu jangan nangis, rumahku juga dekat sini," kataku menenangkan. Hanya perlu menempuh satu jam perjalanan antara rumah kami dan kurasa kami masih akan bertemu setiap hari, karena aku pasti akan pulang dan mampir ke sini setiap bekerja.

“Tetap saja, anak ibu bakal pergi.” Ibu memeluk. Aku mengusap-usap punggungnya saat kami saling bersidekap.

“Ibumu memang seperti itu, jangan jadi pkiran. Nanti kalau sudah dikasih lalapan jengkol sama sambel terasi juga senyum lagi.” Goda Bapak.

“Ih Bapak, apaan sih. Ibu sedih banget lo Pak," sahut Ibu sambil melerai pelukan, kemudian mencubit kecil lengan Bapak dengan mulut mengerucut, kesal. "Le, anak mantu Ibu dijaga, jangan dimarahin ya, Kasian!” Ibu memeluk Dilla. Andai Ibu tahu, anak mantunya tuh yang sering marahin aku.

“Kalau Mas Pras nakal, boleh ya Bu aku marahin.” Lanjut Dilla melepas pelukan lalu menggenggam kedua tangan Ibu erat, belum lagi senyumnya sungguh menawan. 

“Oh iya, kalau dia salah dimarahin aja. Pesan Bapak, kalian berdua harus saling terbuka. Kalau ada sesuatu yang mengganjal di hati harus dibicarakan. Bicaranya juga dengan cara yang baik dan pake aturan. Sama harus pinter jaga rahasia rumah tangga. Nggak semua orang perduli terhadap kita. Masalah sebisa mungkin diselesaikan berdua. Bermusyawarah dan cari jalan keluar sama-sama.” Kami mendengarkan nasehat Bapak lalu mengangguk perlahan.

“Nggeh, pak,” jawabku singkat.

Kepergian kami diiringi suasana haru. Di perjalan, seperti biasa kami saling diam dan pandangan Dilla hanya tertuju keluar jendela. Aku berharap dia tertidur pulas supaya bisa curi-curi cium keningnya. Tapi sialnya matanya terus terbuka, sesekali memeriksa gawai lalu mengetik sesuatu yang entah apa.

“Mas jangan lupa mampir kerumah Mama, nanti kalau nggak diingetin sok-sokan amnesia!” ketusnya tanpa menoleh ke arahku. Tangannya sibuk mengetik sesuatu. 

“Iya, aku ingat!” Mulutnya mengerucut seperti biasa mendengar jawabanku. Tahu gitu harusnya kujawab aja tadi aku lupa, biar sekalian tuh mata melotot sampai mau keluar. 

***

Mobil berhenti di halaman yang sangat luas, rumput yang hijau dan terawat membuat mata betah melihat taman di sekitaran rumah. Kedua mertuaku sudah menunggu didepan rumah bertingkat yang mewah bersama dua orang lainnya. Setelah mengucap salam dan bersalaman mereka mempersilahkan kami masuk. Mama memperkenalkan dua orang asisten rumah tangganya kepadaku. Mereka yang mengurus rumah dan mengasuh Dilla sejak kecil dahulu, malah katanya sudah seperti keluarga sendiri.

Setelah singgah beberapa jam untuk melepas rasa rindu kepada orang tuanya, kami melanjutkan perjalanan. Meskipun mereka meminta kami menginap, tapi kami menolaknya. Besok masa cuti kerjaku habis. Baik aku maupun si singa betina harus sudah harus bekerja. Akhirnya kami sampai juga pada tujuan. Rumah berbentuk minimalis dua tingkat bercat abu-abu membuatnya enak dipandang. Aku membereskan barang-barang sedangkan perempuan itu masuk lebih dulu. Seharusnya Ibu meyerahkan kunci rumah padaku, bukan pada wanita itu. 

Lihat selengkapnya