Jodoh Untuk Prasetyo

Selvi Nofitasari
Chapter #7

Curhat di Ponsel (Pov Prasetyo)

Di Sekolah sungguh aku terlihat seperti orang gila, selalu tersenyum tak berkesudahan. Baik ketika sedang mengajar di dalam kelas ataupun ketika sedang berada di ruang guru.

“Wah, Pak Pras yang baru menikah tersenyum melulu. Lagi bahagia ya, Pak?” tanya Bu Meli, guru Bahasa Indonesia siang itu.

“Jangan gitu lah, Bu. Kayak nggak pernah ngalamin aja,” lanjut Pak Peri guru Matematika.

Gimana Pak, udah sukses belom?” tambah Pak Indra dan dilanjutkan kalimat-kalimat tanya lainnya yang diajukan oleh beberapa guru di sana. Suasana ruang guru menjadi gaduh karena mereka terus saja menggodaku. Beginilah, sekolah adalah rumah ke dua bagiku. Dengan merekalah setiap hari bertemu. Berbagai macam sifat dan karakter yang mereka miliki. Dari yang paling cerewet sampai paling pendiam, dari yang paling galak sampai yang paling lembut juga ada di sini. Aku hanya menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal menyikapi godaan mereka, ingin menjawab tapi takut salah. Lagian, ngapa-ngapain aja belum, eh sebenernya udah sih. Aku kan suka cium dia diam-diam. Hehehe

“Mas ... selamat ya!” ucap Mega sembari mengulurkan tangan yang kini tiba-tiba sudah berdiri di depanku.

“Makasih,” jawabku singkat dan membalas uluran tangannya.

Dia tersenyum dan kembali ke tempatnya lalu sibuk dengan komputer dihadapan. Mega, perempuan yang pernah aku suka dulu. Wanita hitam manis itu bekerja sebagai TU di sekolah. Tapi itu dulu, kalau sekarang hanya ada Adilla Rastanti di hatiku.Tepat pukul 03.00 sore aku besiap-siap pulang, lalu kembali terbayang wajah Dilla. Teringat tadi pagi ia mengucapkan terima kasih kepadaku. Lalu ketika berangkat bekerja kami tidak saling bicara. Seperti ada yang berbeda, wanita yang biasanya banyak bicara dan suka marah-marah itu, pagi ini lebih pendiam dari biasanya. Padahal aku suka dia yang dulu. Lebih gemes aja lihat bibirnya merat-merot nyerocos tanpa titik dan koma. Apalagi jika terbayang ternyata istriku masih perawan. Aku menggeleng-gelengkan kepala lalu tertawa.

“Pras, pulang!” sapa seseorang.

Aku mencari si empunya suara. Sosok jangkung dan kekar berdiri di sampingku membawa ransel berwarna hitam.

“Iya Ries.” Ternyata Aries, guru Penjas di sini.

“Kamu lama-lama bisa gila kalau suka senyam–senyum nggak karuan.” Aries menyentuh keningku sekilas lalu menunduk mendengarkan detak jantungku sesaat.

“Kamu ngapain sih?” kataku menjauhkan kepala Aries dari dada menggunakan telunjuk tangan.

“Hati-hati, kata orang jatuh cinta itu bisa buat kita jadi orang gila, selalu tersenyum nggak jelas!” goda Aries terbahak dan langsung berlari meninggalkanku. 

Aku hanya menggeleng dan mengibaskan tangan di depan muka, lalu kembali tersenyum. Sepertinya aku benar-benar gila. 

***

Sebelum pulang ke rumah aku menjemput Dilla terlebih dahulu. Masih dalam situasi yang sama, kami masih tak saling menyapa satu sama lain. Sampai di rumah kami masih saja saling diam, semua yang kami lakukan rasanya salah. Ketika dia hendak masuk rumah aku pun demikian sehingga kami bertabrakan, padahalkan bisa bergantian. Ketika aku ingin ke kamar mandi dia juga sama dan kami kembali bertabrakan. Ujung-ujungnya sama-sama minta maaf. Entahlah akupun bingung dengan semua ini.

“Jadi, Mas, apa aku duluan yang mandi?” tanyanya di depan pintu kamar mandi. 

“Kamu mau duluan juga nggak apa-apa.” Aku mengalah. 

“Mas duluan aja lah! Mas kan mau shalat Magrib. Kalau aku kan nggak!” sahutnya agak ketus. 

“Oke.” Aku berjalan menyambar handuk di balik pintu lalu menuju ke kamar mandi. Selesai shalat singa betina itu masih berbaring bersandar di kepala ranjang.

“Kamu mandi sana, biar seger!” titahku sambil meletakkan sajadah ke ujung ranjang. 

Dilla diam saja, tapi gerakan tubuhnya seperti akan menuruti perintah. Sebelum ke kamar mandi di putarnya lagu dari gawai. Sebuah lagu dari Nisya Syabian yang berjudul ‘Deennassalam’ lalu dia pergi untuk membersihkan diri masuk ke kamar mandi. Sambil menunggu wanita itu mandi aku duduk di sofa memainkan gawai di tangan. Ketika lagu Nisya Syabian selesai diputar, tanpa kuduga terputar sebuah rekaman dari gawai milik Dilla yang di letakkannya di atas ranjang.

“Test, test! Halo namaku Adilla Rastanti, aku mau curhat sedikit. Kalau jaman dulu curhatnya nulis di buku diary, kalau sekarang jaman sudah canggih, jadi curhatnya ngomong pake suara aja seperti ini. Hening sesaat "Hari ini tanggal 25 Maret ... Aku lagi bahagia, tadi pagi saat akan berangkat bekerja Mas Pras buatin aku mie, rasanya enak banget.”

Mataku membulat mendengarnya, terdengar dari sini Dilla tampak tergesa ingin membuka pintu kamar mandi. Aku berlari dan kembali menutup pintu yang setengah terbuka itu untuk mencegahnya. Dia pasti ingin mengambil gawai, aku harus tahu isi hatinya. Ahirnya singa betina itu kembali terkurung di dalam, tak kuhiraukan suaranya berteriak memohon aku membuka pintunya. Rekaman itu masih terus berputar.

“Mas Pras ... emmmm. Jadi dia itu sebenarnya pria yang baik dan sabar. Yah, walaupun agak tua sih! Tapi jujur saja, dia itu manis dan cukup tampan.” Aku menahan senyum mendengar bagian yang ini, sedangkan Dilla terus memberontak di dalam sana meminta aku membuka pintunya.

Lihat selengkapnya