Jodoh Untuk Prasetyo

Selvi Nofitasari
Chapter #9

Sungkeman (Pov Prasetyo)

Pikiranku sedikit kacau malam ini, karena kasus di Sekolah. Seorang anak dikeroyok oleh beberapa anak lainnya hingga menyebabkan si korban masuk ke rumah sakit. Sungguh aku merasa miris dengan kasus–kasus yang seperti ini. Kebanyakan pelaku bullying seringkali berasal dari keluarga yang bermasalah. Mungkin beberapa diantaranya para orang tua yang sering menghukum anak secara berlebihan atau situasi rumah yang penuh stress, agresi dan permusuhan. Beberapa anak akan mempelajari perilaku bullying ketika mengamati konflik–konflik yang terjadi pada orang tua mereka dan kemudian meniru terhadap teman-temannya. Aku menghela napas panjang, lalu menghidupkan TV. Dilla sedang shalat Isya ketika aku turun ke sini.

“Mas, aku mau nonton film yang kemarin.” Suara seseorang membuyarkan lamunan.Ternyata Dilla sudah berdiri di belakangku. Aku menoleh ke belakang kemudian tersenyum, kuulurkan tangan untuk menarik tangannya memutari sofa, setelah itu mendudukkannya di sisiku. Kuacak lembut pucuk kepalanya gemas sembari berkata.

“Kemarin nonton film, apa?” tanyaku dengan tatapan penuh cinta masih mengenggam jemarinya.

“Sinetron, Mas,” jawabnya singkat.

“Mas, mau nonton berita. Bentar aja, ya. Setelah itu kamu bisa nonton sinetron kesukaan kamu,” pintaku memelas. Dilla menggeleng lemah dengan alis yang saling bertautan, tanda tidak setuju.

“Ya udah, biar adil kita sama-sama nggak usah nonton. Kita ngobrol aja!” Aku mematikan TV.

“Ngobrol apa?” tanyanya dengan muka datar. 

“Apa aja!" sahutku tersenyum, lalu berpikir "Emmmm ... Mas kan sering nih rayu-rayu kamu. Coba sekarang gantian kamu yang rayu Mas!”

“Idih, nggak mau!” katanya melipat tangan di dada, membuang muka dan cemberut seperti biasa.

“Ya udah kalau nggak mau, Mas tidur aja!” Aku pura-pura hendak berdiri. 

“Eh, iya! Aku nggak mau sendirian di sini," rengeknya padaku sambil menarik tangan. Mendengar semua itu aku tersenyum menang lalu kembali duduk bersila di sofa menghadap ke arahnya. Ia pun melakukan hal yang sama, duduk bersila menghadap ke arahku.

"Kalau gitu, ayo coba rayu Mas." Dilla diam, tampak Ia berpikir keras. 

“Aku coba." Diam sesaat, "Mas, Mas anaknya petani, ya?” tanyanya tiba-tiba. 

Aku minta dia merayu kok malah nanya hal seperti ini sih? 

“Emang, Ibu sama Bapak Mas memang seorang petani, kok kamu masih nanya? Kamu kan sudah tahu Sayang.” 

“Mas, bukan begitu jawabnya!” Dilla memukul bahuku berulang karena kesal. “Ih, Mas nggak gaul banget sih!! Sebel Aku tuh! Jawabnya gini ... 'Kok kamu tau? Gitu!”

“Oh gitu, jadi Mas harus tanya balik gitu ya? Ya udah ulang, ya!” pintaku padanya sembari menahan tawa, dengan mata menatap plafon rumah. Wanita itu tampak kesal. 

“Mas, kamu anaknya petani, ya?”

“Eh kok kamu tau?”

“Karena cintamu sudah tertanam di hatiku.”

Aciaaaaaa aku digombalin Dilla sampai jungkir balik dari sofa. Ia bahkan menarik tanganku agar tak terjatuh ke lantai. 

"Dilla kamu lucu banget sih! Stressku sampai hilang mendengar gombalanmu!" Aku mencubit pipinya gemas.

“Mas, sakit ah! Mas, selalu memperlakukan aku seperti anak kecil!” ucapnya seraya melepas cubitan tanganku dari wajahnya.

“Kalau nggak mau diperlakukan seperti anak kecil, yuk lah kita ke kamar! Mas, bakal memperlakukan kamu seperti wanita yang sudah dewasa.” Aku menaik turunkan alisku, menggoda.

“Ih Mas, kamu mesum banget sih!” katanya mendorong tubuhku ke belakang.

Singa betina yang mulai jinak itu berlari ke atas lebih dulu. Aku menyusulnya ke atas sembari tertawa. Dengan santai aku menaiki anak tangga. Ini anak gengsian banget sih! Rasanya pengen tanya ke semua wanita, emang semua wanita gitu, ya? Sampai di atas Dilla menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut, diam-diam aku masuk ke dalam selimut itu. Dalam selimut aku memegang tangannya supaya Ia tak bisa bergerak. 

“Mas, kamu apa-apaan sih? Tangan aku sakit kamu pegangin gitu!”

“Ya udah, nggak usah berontak, ya! Aku gini karena mau ngasih nafkah batin ke kamu. Kalau nggak nanti aku dosa.”

“Mas, kamu kok ngomongnya gitu? kayak aku aja yang butuh!”

“Ih, emang iya. Nafkah seorang suami itu ada dua, nafkah lahir dan nafkah batin. Sekarang kamu diem aja! Mas, mau kasih kamu nafkah batin, kamu nggak boleh nolak rejeki ini nanti kamu berdosa loh!”

“Lepasin! Aku, nggak mau pokoknya!”

Lihat selengkapnya