Ibu mencium pucuk kepala Dilla, dan merangkai do'a sambil menepuk lembut puncak kepalanya. Selesai sungkem dengan Ibu Dilla menggeser tubuhnya dan kini sungkem denganku karena aku duduk persis di samping Ibu.
"Mas, maaf ...."
Hanya itu yang terlontar dari bibir tipisnya. Aku memeluk kepala wanitaku cukup lama, menyandarkan dagu di atasnya, kemudian mencium ubun-ubunnya.
"Mas maafkan kamu sayang," ucapku sembari menghapus air di mata indah itu, lalu mendaratkan satu kecupan di keningnya. Wanitaku menatap wajah ini lekat, lalu kembali menyandarkan kepala di pangkuan, kubelai lembut rambutnya dan sesekali mengusap bahu. Sedangakan Ibu yang berada di sisi ikut menepuk bahuku dan menyeka butiran kristal yang sejak tadi mengalir di pipinya.
"Hem hem, kok tangis tangisan ini ada apa?" Sebuah suara terdengar tiba-tiba. Ternyata Bapak sudah berdiri di depan pintu, aku bergegas mendekatinya dan menyambar punggung tangannya, kemudian menciumnya dengan takjim.
"Bapak ngucap salam dulu, kalau datang. Ngagetin aja," gerutuku sambil tersenyum.
"Lupa, Assalamu'alaikum," katanya sambil tersenyum.
"Wa'alaikumsalam salam," jawabku yang di susul suara Ibu dan Dilla.
Bapak berjalan mendekati Dilla dan Ibu, sedangkan aku mengikutinya dari belakang. Ia bergabung duduk bersama kami di depan TV. Aku melakukan hal yang sama pada Bapak seperti yang Aku lakukan pada Ibu. Setelah itu kami bercerita, sembari mengurut bahunya yang dulu kekar, kini kurus tinggal tulang. Sore jam 15.00 petang kami memutuskan untuk pulang karena akan mampir ke rumah orang tua Dilla.
***
Sesampainya di sana, ternyata hanya ada dua asisten rumah tangganya saja. Mamanya sedang terbang ke LN guna mengurus perizinan butik yang baru di buka. Sedangkan papanya dinas luar kota sudah seminggu tidak pulang. Kami putuskan langsung pulang ke rumah karena tidak bisa bertemu mereka. Di tengah perjalanan aku mencoba bertanya sesuatu pada istriku.
"Sayang, aku tanya sesuatu boleh? Tapi sebelumnya Mas minta maaf, ya." Dilla menganggukkan kepala. Aku menepi di sebuah tempat yang teduh, lalu mengajak wanitaku keluar dan duduk di bawah pohon yang rimbun.
"Mama dan Papa kamu emang selalu sibuk ya?"
"Iya Mas, mereka jarang di rumah," jawabnya sembari bergelayut manja di bahu ini.
"Jadi yang sering nemenin kamu di rumah siapa?"
"Aku dulu sering sama mbok Minah dan Bik Susi, mereka berdua yang selalu nemenin aku dan ngurusin semua kebutuhan aku."
"Ohh ...." Aku manggut-manggut lalu mengecup hangat pucuk kepalanya.
Aku menatap wanita yang kini ada di sampingku, tersirat kesedihan di dalm matanya. Mata itu memandang menerawang jauh ke depan. Lalu aku berpikir, bagaimana bisa membuatnya melupakan apa yang barusan kami bahas. Aku tidak tega bertanya lebih mendalam. Tiba-tiba dari kejauhan Aku melihat Ada gerobak siomay yang sedang berjalan ke arah kami.
"Eh itu ada Abang siomay, kamu mau?" tanyaku membuyarkan lamunannya.
"Mana?" jawabnya menegakkan kepala kemudian mengedarkan pandangan.
Aku menunjuk ke arah kiri dari tempat kami duduk. Lalu memanggil abang siomay untuk mendekat kesini. Abang siomay mendekat dan Aku memesan. Mungkin ini yang dikatakan bahagia itu sederhana. Makan siomay di bawah pohon bersama wanita yang kita cintai saja sudah bisa membuat aku bahagia. Semua orang yang lewat kupanggil dan kutraktir makan siomay, setelahnya kuminta mengatakan kalau Dillaku wanita tercantik di dunia. Dengan senang hati mereka melakukannya.
Dilla tertawa, Ia menutup mulutnya dengan sebelah tangan, resah yang baru saja tersirat di matanya sepertinya telah menghilang berganti bahagia karena melihat tingkah konyolku barusan. Aku tidak ingin membebani wanitaku dengan apapun, aku hanya ingin melihat seulas senyum di wajah cantiknya.