Jodoh Untuk Prasetyo

Selvi Nofitasari
Chapter #11

Hikmah di Balik Musibah

Aku melepas pelukan dengan sangat hati-hati ketika yakin kalau wanitaku sudah terlelap. kuambil gawai di atas nakas, lalu mencoba menelepon polisi untuk membuat laporan.

“Mas, jangan telpon polisi! Dilla mohon, Mas!” ucap Dilla yang tiba-tiba menyentuh bahuku.

“Tapi mengapa, Sayang? Mas pengen tahu siapa orang yang sudah tega berbuat sekeji ini kepada wanita yang sangat Mas cintai,” tanyaku lirih. 

“Mas, Papa memiliki riwayat penyakit jantung, Dilla juga nggak mau nama Mas tercemar gara-gara ini. Mas, berjanjilah akan menyimpan rahasia ini untuk kita. Aku mohon, Mas. Aku mohon!” Ia memohon.

Aku membalikkan tubuh, lalu menatapnya tidak percaya. Haruskah aku membiarkan para bajingan itu lolos dari jeratan hukum setelah melakukan hal ini pada Dillaku? Aku tidak perduli berapapun harta yang hilang di rumah ini, bahkan jika semua milikku mereka ambil aku tak pernah perduli, tapi yang mereka lakukan sekarang ini adalah menyakiti, bahkan melecehkan wanitaku. Sungguh aku murka dan benci.

“Mas aku mohon ....” Dilla kembali terisak. Aku segera memeluk dan menenangkannya.

“Iya, Sayang. Sudah kamu istirahat, ya! Mas janji nggak bakal telpon polisi.” Dilla mengagguk lemah, masih terisak. Aku memeluknya hingga ia benar-benar terlelap. Setelah memastikan ia terlelap, aku beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudhu untuk shalat Isya.

Fikiranku kacau, hatiku hancur dengan kejadian ini. Kugelar sajadah dan melakukan shalat. Rakaat pertama aku terisak. Aku duduk dan mengusap wajah dengan kasar, lalu mengulangi shalat. Shalat yang kedua kali aku kembali terisak. Aku menunduk dalam sambil memejamkan mata. Berusaha mengusir gundah dan perasaan gusar agar bisa khusyuk beribadah, tapi mengapa begitu sulit untuk ikhlas? 

Kuputuskan kembali mengambil air wudhu agar hati lebih tenang. Kemudian mencoba khusyuk dalam sholat. Alhamdulilah kali ini aku bisa melakukannya dengan lebih baik. Aku keluar kamar dan membereskan rumah. Menyapu, mengepel dan kembali menata setiap sudut ruangan yang berantakan. Semua selesai, tinggal membereskan tempat di mana Dilla saat pertama kali kutemukan. Aku menatap ruangan cukup lama, dengan perasaan yang tak kuketahui ini apa. Aku mulai menyapu setiap sudut ruangan, sesekali menarik napas saat sesak, lalu kembali bekerja. Aku tertegun saat menemukan ponsel Dilla yang rusak di bawah ranjang, dekat dengan tempat di mana aku melihatnya duduk meringkuk di ujung sini. Ponselnya hancur tak berbentuk lagi, seperti hatiku.

Ya ... seperti hatiku. Aku duduk di ujung ranjang, memperhatikan ponsel yang hancur dalam genggaman. Membayangkan bagaimana bajingan itu memperlakukan wanitaku dengan kasar dan beringas. Dadaku naik turun menahan emosi yang bergejolak, aku berdiri lalu melemparkan ponsel itu ke dinding sekuat tenaga sembari berteriak. 

"Akhhhhhhhhh!!!!" 

Prakkk!! 

Aku memalingkan muka, napasku tertahan, buliran air mata sudah menggenang. Aku mengulum bibirku sendiri menahan kesal. Mengapa dada ini terasa semakin sesak? Kuputuskan berlari keluar rumah.

Diluar ternyata sedang turun hujan. Aku ambruk dengan lutut dan telapak tangan berada di rerumputan. Kupejamkan mata dan air mata luruh bersamaan dengan air hujan yang membasahi tubuh ini. Dingin, tapi tak mampu mendinginkan hatiku yang sedang panas. Tertatih aku berdiri, menatap langit, menentang air hujan yang tumpah, lalu berteriak sekuat tenaga untuk melepas beban yang mengganjal di bawah derasnya hujan yang menghujam. Aku merasa marah, kesal dan kecewa. Apa salahku hingga Allah menghukumku seperti ini!.

“Aaaaaaaaaaa!!!!”

Tubuhku luruh seiring air mata yang mengalir semakin deras. Aku bersimpuh dan meninju ke arah tanah beberapa kali, menjambak rambutku sendiri. Tangis yang kutahan sejak tadi pecah, aku bahkan meninju dadaku berkali-kali.

Sesak, 

Sesak, 

Sesak, 

Tolong ya Allah, beban ini. 

Lepaskan, 

Lepaskan,

Lepaskan. 

“Aaaaaaaa!!” teriakku berusaha memberi ruang pada hati. “Mengapa Kau menghukumku seperti ini ya Allah? Mengapa tak Kau ambil saja nyawaku ini? Aku tidak sanggup melihatnya seperti ini ya Allah!! Katakan apa dosaku?" Aku tergugu. Bahuku terguncang hebat. Kilat semakin terlihat jelas menjilati bumi. Aku bahkan tak takut sama sekali. 

"Aaaakkk!!!!!" Kuremas kepala kuat-kuat, lalu Kembali meninju tanah berulang kali. Aku hanya berusaha melepas beban yang ada di sini. Melepaskan rasa kesal yang sudah menggunung di hati. 

Ya Allah, tolong, sesak, sesak, sesak ....

***

“Sayang, makan dulu ya buburnya. Mas buatin kamu bubur ayam, mumpung masih hangat!” kataku pagi itu setelah Dilla bangun dan masih berbaring melamun. Aku membantu wanitaku duduk bersandar di kepala ranjang. Ia menggeleng lemah, dengan wajah yang sangat pucat.

Lihat selengkapnya