Jodoh Untuk Prasetyo

Selvi Nofitasari
Chapter #12

Janji Seorang Adilla Rastanty (Pov Dilla)

Kejadian beberapa hari yang lalu, aku jadi takut bertemu orang-orang yang baru. Masih teringat jelas, kala itu ketika sedang menyisir rambut di depan meja rias, tiba-tiba terdengar suara pintu didobrak. Masuk dua orang bertopeng dan tiba-tiba sudah berada di kamar, lalu menodongkan pisau kepadaku. Salah satu dari mereka mengobrak abrik isi rumah, tapi yang satunya malah menatapku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki, kemudian menyeringai dan mendekat.

Aku berusaha lari, tapi ia mengejar. Aku menabrak meja beberapa kali, kaki menginjak pecahan beling tanpa kusadari. Dan akhirnya aku bersembunyi di kamar tamu itu, tapi sayangnya, pria bertopeng itu menemukanku. Aku sempat melukai bagian pipinya yang sebelah kiri dengan menggunakan pecahan beling. Pecahan beling yang tercecer di lantai, sehingga topeng yang ia pakai robek menembus kulit, hingga darah bercucuran di lantai. Pria itu masih terus mendekat dan semakin marah, untuk melindungi diri aku melempar gawai yang ada pada genggaman.

Sambil meringis menahan sakit ia terus melangkah maju. Ia bahkan menampar wajahku sebanyak dua kali saat itu. Sungguh sakit jika teringat hari itu. Sungguh tak menyangka jika Allah masih memberi kesempatan padaku untuk hidup. Aku memejamkan mata menahan perih, menggigit bibir berkali-kali karena luka di hati kembali menghampiri. Bayangan pria bertopeng itu seolah selalu membuntuti. Tanpa kusadari ternyata Mas Pras sudah ada di sini. 

“Sayang ... ini di minum dulu!” pintanya yang sudah duduk di sisi ranjang, lalu menyodorkan segelas air putih padaku. Aku membuka mata dan beringsut duduk untuk bersandar di kepala ranjang, kubuka mulut untuk menerima minuman darinya. Lalu meneguknya beberapa kali. Mas Pras meletakkan gelas itu di nakas.

“Kita keluar yuk, jalan-jalan cari angin!” ajak Mas Pras sembari mengusap lembut lengan kananku.

Aku diam saja, menyibakkan selimut dan beringsut turun dari ranjang. Mas Pras memakaikanku jaket miliknya yang berwarna abu-abu, lalu menggandeng jemariku mengajak turun.

***

Di perjalanan aku hanya menatap keluar jendela, memberanikan diri melihat dunia luar. Ini pertama kalinya Mas Pras mengajakku keluar setelah kejadian itu. Mobil menepi di sebuah warung bakso. Mas Pras membuka pintu mobil, lalu memutari kepala mobil untuk membukakan pintu. Dia mengulurkan tangan, meskipun sedikit ragu akhirnya kuterima uluran tangan itu. Masuk ke warung bakso aku merasa sepertinya semua orang menatapku dengan tatapan yang aneh. Mereka seolah menyeringai persis seperti pria bertopeng itu menyeringai padaku.

“Bang baksonya dua ya!” kata Mas Pras sedikit berteriak kepada abang bakso yang masih sibuk di depan, setelah itu menyusulku yang sudah lebih dulu duduk di bangku bagian belakang. Aku menunduk dengan tangan yang saling menggenggam erat di pangkuan, suara tawa pria bertopeng itu seolah kembali mengiang-ngiang di telinga. Tiba-tiba sentuhan hangat Mas Pras yang menggenggam jemariku lebih erat mengusir semuanya. Aku mengangkat wajah melihat wajah teduhnya. Mas Pras menunduk lemah seolah memberi isyarat bahwa semua akan baik-baik saja.

“Baksonya, Mas.” Pelayan datang mengantarkan dua mangkok bakso di hadapan.

“Makasih ya, Bang!” ucap Mas Pras ramah sembari melepaskan genggaman tangan.

“Sama-sama Mas,” katanya lalu kembali melayani pembeli lainnya.

“Sayang, kita makan bakso ya! Mas potongin kecil-kecil buat kamu," kata Mas Pras padaku.

Aku tidak menjawabnya. Bayangan pria bertopeng itu tiba-tiba hadir lagi dalam pikiran yang membuat wajahku penuh keringat. Megapa bayangan itu selalu datang? Aku membencinya! Sungguh membencinya! Semakin aku berusaha melupakan, bayangan itu bukannya pergi, tapi malah melayang-layang di angan.

Mas Pras menoleh, lalu mengambil tisu di meja dan mengusapkannya ke keningku. Dia beranjak mendekati abang bakso, membayar lalu mengajakku pulang.

‘Maafkan aku Mas ... ’

***

Sepanjang perjalanan aku hanya diam, sungguh aku merasa bersalah karena Mas Pras belum sempat memakan baksonya dan itu semua karenaku. Aku membenci diriku sendiri, seharusnya aku bisa melawan ketakutan itu. Seharusnya aku bisa membuang bayangan pria bertopeng itu. Aku terlalu sibuk dengan perasaanku sendiri hingga tidak menyadari mobil berhenti tepat di depan sebuah Masjid.

“Sayang, kita shalat Isya di sini ya!” kata Mas Pras melempar senyum padaku.

Aku mengangguk setuju. Mas Pras buru-buru turun dan membukakan pintu, Setelah itu memeluk tubuhku dan menggandeng tangan ini menaiki anak tangga menuju ke atas masjid yang agung. Aku menatap punggung lebar Mas Pras, lelaki yang selama ini dengan sangat sabar menghadapi tingkahku. Tanpa kusadari setitik embun mengintip dari ujung mata, aku cepat-cepat menghapusnya dengan ujung jari tangan. Suara azan di sela-sela langkah kaki kami menaiki anak tangga ini membuat hatiku semakin menangis, begitu banyak dosa yang menumpuk dalam diri ini.

Mas pras melepaskan gandengan tangan ketika kami sudah sampai di batas suci, lalu berjongok dan melepas sepatuku. Aku menatap wajah sendu lelaki itu, dia adalah suami yang sangat sempurna untukku, tapi apa yang sudah kulakukan selama ini kepadanya? 

Tidak ada ....

Aku hanya menjadi beban untuknya. lagi, hatiku menangis mengingat semua ini. Mas Pras meletakkan sepatuku pada Rak yang tersedia, lalu berjalan lurus untuk mengambil wudhu. Sedangkan aku? Berdiri di sini sambil berpikir, masih pantaskah aku bersanding dengan pria yang luar biasa itu.

Melihatku mematung Mas Pras berbalik dan kembali menggandeng jemariku. Aku terus menatap wajah itu, pria ini tidak pernah mengeluh. Seluas apa hati lelakiku ini? Mengapa dia bisa bertahan dengan seorang istri sepertiku? Mengapa ia tidak membenciku?

Mengapa? 

Selesai mengambil wudhu Mas Pras mempersilahkan aku berjalan lebih dulu, meski awalnya melangkah ragu, tapi Mas Pras berhasil meyakinkanku. Suasana di dalam cukup membuatku cemas, tidak ada satupun orang yang kukenal, kembali aku merasa semua orang seolah menyeringai persis seperti pria bertopeng itu. Aku mulai gemetaran dan hatiku mulai tak tenang.

Lihat selengkapnya