“Sayang, kalau hari ini Mas ajak ke luar gimana?” ucap Mas Pras siang itu ketika kami sedang duduk santai sembari menonton TV bersama.
“Ke mana, Mas?”
“Ke psikiater, Sayang.”
“Mas aku nggak gila," kataku dengan suara parau menahan air mata. Apa mungkin Mas Pras berpikir kalau aku sudah tidak waras.
“Mas tau, Sayang. Cuma buat konsultasi dan ngilangin depresi kamu aja,” ucap Mas Pras membelai lembut pucuk kepala. Aku diam saja, melipat tanganku di dada, siang ini Mas Pras tiba-tiba ingin mengajakku ke Psikiater. Padahal aku yakin dengan berjalannya waktu rasa ketakutan ini akan hilang dengan sendirinya.
“Sayang, aku bahkan mengulur waktu, menunda keberangkatan kita ke Jogja untuk ini. Mas pengennya liburan sama kamu, bisa have fun and enjoy sama-sama. Mumpung Mas masih libur sekolah,” katanya memengambil jemariku kemudian mendaratkan ciuman di sana. Aku menatap manik mata pria di hadapanku ini lekat. Dan ahirnya menyerah ...
“Baiklah, Mas."
“Makasih ya,” ucapnya sembari tersenyum hangat.
Dibelainya lembut pucuk kepalaku, lalu mengecup kening. Kami naik ke atas beriringan. Setelah Mas Pras siap, dia menunggu di bawah seperti biasa. Aku memperhatikan diriku sendiri di cermin, mengoles lipstik berwarna pink pada bibir dan menabur bedak tipis di wajah. Hari ini aku memilih baju berwarna coklat dengan rok panjang berwarna hitam. Aku melangkah menuju lemari, kemudian memilih jilbab segi empat berwarna senada dengan atasan.
"Bismillah ..... "
Aku melilitkan hijab di kepala. Aku tertegun menatap diriku sendiri. Sekilas perjalanan hidupku berputar-putar di pikiran. Pertama kali bertemu Mas Pras sampai hari ini.
Aku tersenyum di cermin. Ini pertama kalinya aku memakainya. Kuharap Mas Pras menyukainya. Setelah mantap menatap diri pada cermin, aku mengambil sepatu ket berwarna putih. Tanpa kesulitan aku mengikat talinya. Aku merasa lucu ketika ingat pertama kali Mas Pras memasangkan sepatu ini di kaki. Tanpa sadar segaris senyum tergambar di bibir, lelakiku manis sekali.
Selesai. Aku keluar kamar dan menutup daun pintu, telingaku berdenging ke arah ujung kamar tempat terjadinya tragedi, aku memejamkan mata dan beristigfar berkali-kali, lalu langsung melangkah pergi. Perlahan aku menuruni anak tangga, melihat Mas Pras duduk menunggu. Entah mengapa debar ini selalu hadir baru-baru ini, aku selalu berdebar setiap kali akan menemui suamiku itu.
“Mas, aku udah siap,” kataku setelah berdiri tepat di hadapannya.
“Baiklah, Ayok kita be---”
Kalimat Mas Pras terhenti ketika matanya melihatku. Dia berdiri dan menyentuh kepala ini perlahan. Matanya seolah takjub dengan apa yang Ia lihat.
“Mas!” kataku mengibaskan tangan di depan matanya. Suamiku masih diam, matanya menatapku lekat. "Mas!!" Aku sedikit berteriak. Mas Pras sadar, ia menggelengkan kepala, lalu kembali melihatku.
“Alhamdulilah, istriku cantik sekali,” katanya dengan mata berbinar. Pipiku merona merah mendengar pujiannya.
“Ih apaan sih Mas, ayo berangkat!” ajakku mengulum senyum. Mas Pras merekatkan kelima jemarinya pada jemariku baru mengajakku pergi.
***
Mobil berhenti di depan sebuah gedung yang tinggi. Kami berjalan beriringan masuk untuk menemui dokter spesialis. Ternyata dokter yang menanganiku bernama dokter Arini. Dia sangat baik, ramah dan cantik. Dia bilang aku beruntung memiliki suami seperti Mas Pras, karena Mas Pras sangat berperan penting dalam kesembuhanku. Dokter Arini memintaku datang lagi minggu depan untuk konsultasi lanjutan.Ternyata kesembuhanku membutuhkan waktu yang cukup lama, sekitar empat bulanan. Empat bulan berlalu, Dokter Arini baru menyatakan sembuh.
Selama itu pula Mas Pras mengajakku pindah hunian di sebuah kontrakan sederhana, tetapi letaknya masih dekat dengan rumah kami yang lama. Setiap kali Mas Pras mengajar ia akan mengajakku bersamanya, lalu menitipkanku di rumah Ibu. Aku bahagia karena di rumah Ibu aku mendapatkan segalanya. Kasih sayang, perhatian dan cinta kedua orang tua ....
Ibu sangat bahagia melihat perubahanku yang kini memutuskan memakai hijab, Ia bahkan tidak mengenaliku ketika pertama kali kami datang ke sana. Memeluk dan mencium pucuk kepalaku saking bahagianya.
Aku belajar banyak hal di rumah Ibu, memasak, membereskan rumah dan mendengarkan nasehat-nasehat Ibu yang bagiku sangat bermanfaat untuk kelangsungan rumah tangga kami. Aku bahkan berziarah ke makan Mas Doni beberapa kali bersama beliau. Seperti siang ini, aku dan Ibu sedang berada di makan Mas Doni. Ibu terus saja menatap dan menyentuh nisan dengan mata yang berembun. Melihatnya seperti itu, aku mengusap punggung Ibu perlahan sambil sesekali memeluknya.
“Le, lihat istrimu sekarang dia makin cantik!” Ibu menoleh ke arahku sembari tersenyum, lalu menyentuh pipiku beberapa saat dengan alis yang saling bertaut, haru. Aku tahu Ibu pasti merindukan Mas Doni. Ibu kembali menatap nisan Mas Doni setelah menatapku.
“Masmu menjaganya dengan sangat baik, kamu jangan khawatir ya, Le,” ucapnya lirih.
“Mas, Mas harus tau. Mas sangat beruntung memiliki Ibu sebaik ini. Dia mengajariku banyak hal, aku bukan Dilla yang manja lagi. Mas tau, aku sudah bisa menjadi istri yang baik sekarang. Aku bisa memasak, bisa menyapu, bisa mencuci piring. semua itu karena Ibu, Mas." Aku menoleh ke arah Ibu sembari tersenyum. "Bu, makasih ya,” ucapku seraya menggenggam sebelah tangannya. Mata Ibu berkaca-kaca menatapku, ada keharuan di sana.