Jodoh Untuk Prasetyo

Selvi Nofitasari
Chapter #14

Libura ke Jogja

"Oh, jadi ceritanya mau liburan ke Jogja?” kata Bapak setelah tahu niat kedatangan kami ke sini untuk berpamitan. Bapak menghisap rokoknya beberapa kali, lalu meletakkannya di asbak yang berada di meja.

”Kan Bapak sudah bilang dari awal kalian menikah, ajak si Dilla jalan-jalan ke Jogja, sekalian main ke rumah pakdemu di sana.” Bapak mengingatkan.

“Pras sempetnya baru sekarang, Pak,” sahut Mas Pras.

“Harusnya dari dulu biar Ibu bisa cepet nimang cucu,” lanjut Ibu tersenyum jahil. Aku dan Mas Pras saling pandang.

“Pengennya juga gitu, Bu. Biar rumah ramai kalau ada langkah kaki anak-anak,” jawab Mas Pras menatap wajah ini lekat, aku menunduk malu menerima tatapan itu. Kemudian ia meraih gelas di meja dan meneguknya beberapa. Aku beranjak dan berjalan ke dapur, tak sanggup menerima tatapan mata itu. Rasanya aneh, debar-debar jantungku seakan semakin kuat bertabuh.

Seperti tadi pagi ketika kami berangkat ke sini, di perjalanan Mas Pras beberapa kali menggenggam jemariku di mobil. Aku gugup, bahkan rasanya tersetrum listrik tegangan tinggi menerima setiap sentuhannya. Wajahku bersemu merah mengingatnya. Aku menundukkan kepala dengan mata memejam. kedua tangan kulipat di atas meja makan.

“Sayang, kok malah duduk di sini!” suara Mas Pras mengejutkanku.

Aku berusaha bersikap senormal mungkin. Mengangkat wajahku yang tertunduk, lalu menoleh ke arahnya sembari tersenyum.

“Kamu kepikiran kata-kata Ibu tadi, ya?” tanya Mas Pras sambik duduk di sisiku. Dadaku mulai berdebar, bergemuruh tak karuan.

“Nggak kok, Mas. Biasa aja!” jawabku singkat.

“Mas nggak akan maksa, Mas akan nunggu sampai kamu siap. Mas ngerti kok keadaan kamu Sayang,” ucapnya mengusap puncak kepala, kemudian mencium sesaat sebelum pada akhirnya kembali ke tengah. Mataku membulat mendengar kalimat yang keluar dari mulut Mas Pras.

‘Loh kok? Aku kan belum ngomong apa-apa, Mas. Kenapa kamu ngambil kesimpulan sendiri sih! Aku mau kok punya anak sama kamu. Nunggu-nunggu malah saat-saat seperti itu. Ih, Mas Pras!!' Aku memejam kesal dengan bibir cemberut sembari meremas ujung jilbab.

***

Tepat pukul 14.00 siang kami pamit pulang, karena akan berkunjung ke rumah Mama. Awalnya aku menolak, tapi Mas Pras memaksa. Mama saja tidak pernah perduli denganku, anaknya. Kenapa aku harus perduli dengannya? 

Untuk apa aku datang ke sana. Meskipun kadang-kadang Mama ataupun Papa bertanya kabar, itu pun hanya melalui pesan singkat saja. Sebelum pulang kami memetik jeruk bersama Ibu dan Bapak di kebun dekat rumah. Selama satu tahun menjadi istri Mas Pras, ini pertama kalinya mereka mengajak ke sana. Kebersamaan yang indah, yang tidak pernah aku dapatkan di rumah.

***

Mobil menepi di depan rumah, rumah yang besar dan luas, tapi hampa. Seperti tidak ada kehidupan di dalamnya, sesekali hanya ada tawa Bik Susi dan Mbok Minah yang membuat hati bahagia.

“Eh Non, masuk non," kata Bik Susi setelah membukakan pintu untuk kami.

“Mama sama Papa ada di rumah, Bik?” tanyaku setelah mencium punggung tangannya. Mas Pras melakukan hal yang sama.

“Ada kok, Non. Mungkin di ruang kerja," jawab Bik Susi. Aku melangkah masuk bersama Mas Pras.

“Bik tolong anterin Mas Pras ke kamar aku, ya. Supaya ia bisa istirahat. Jangan lupa bikinin teh manis buat Mas Pras, gulanya satu sendok saja. Mas Pras nggak suka manis.” Mas Pras memperhatikanku bicara, lagi-lagi tatapannya membuatku kembali tidak nyaman. Grogi, salah tingkah, deg-degan. Hadehhh, kenapa aku jadi super lebay, ya? kayak orang masih pacaran saja.

“Istri Mas perhatian banget sih, sampe begitunya ngasih informasi ke Bik Susi,” goda Mas Pras sembari mencubit kecil pinggangku.

“Mas geli, apaan sih. Aku kan istri yang baik, Mas!” kataku melepaskan tangannya. Kemudian langsung naik ke atas untuk menemui Mama.

“Kamu mau ke mana, Sayang?” tanyanya menarik tangan ini yang hendak melangkah menuju ruang kerja Mama.

“Tunggu aja, aku mau kasih tau Mama sama Papa ada Mas di sini," jawabku sambil melangkah pergi. Mas Pras menatap dengan pandangan heran dari bawah, saat aku menaiki anak tangga menuju ke atas. Di mana Mama selalu sibuk dengan dunianya sendiri.

‘Kamu nggak perlu ikut nemuin Mama mas, cukup aku. Aku ingin bicara sama Mama, aku harap kamu ngerti,' lirih banting ini berucap. 

Lihat selengkapnya