Aku beringsut dari ranjang kemudian melepas pakaian, perlahan melangkah menuju ke kamar mandi. Kuguyur tubuhku dengan air hangat. Memejamkan mata, mencoba mengingat-ingat kembali kapan terakhir kali suamiku menyentuh tubuh ini. Aku mulai mengasihani diriku sendiri. Mungkinkah Mas Pras tidak mau menyentuhku lagi karena kejadian itu? Apakah dia jijik denganku? Aku mendongakkan wajah membiarkan setiap tetes air membasahinya. Mencoba meredam berbagai kemungkinan, alasan dibalik sikap Mas Pras yang selalu menghindar. Mata mulai memanas, tenggorokan mulai serak, alis saling bertaut. Hingga akhirnya air mata ini luruh berbarengan dengan air yang membasahi tubuh.
Aku tahu, mungkin aku bukan wanita yang baik untuk pria sebaik Mas Pras, tapi aku sudah berusaha menjadi lebih baik dari diriku yang sebelumnya. Tidak adakah kesempatan kedua bagiku? Aku menarik napas yang panjang. Dada ini terasa semakin sesak. Napasku tersenggal, kuremas kepala yang basah sambil meringis menahan sakit. Aku terisak dalam perih, menunduk dan menangis menahan sedih. Aku memeluk diriku sendiri, begitu hinakah diri ini ya Allah? Kemudian berjongkok, lalu menyembunyikan wajah di antara lengan, membiarkan air hangat mengguyur tubuhku yang merana.
"Hiks, hiks, hiks." Tangisku semakin dalam.
Tiba-tiba aku merasa seseorang sudah berdiri dibelakangku, ia menuntunku untuk berdiri. Mas Pras tersenyum sambil menghapus air mata ini.
"Mas cari-cari di kamar nggak ada ternyata di sini." Mas Pras masuk masih memakai pakaian lengkap, bajunya basah karena tersiram air. Ia ikut berdiri di bawah shower bersamaku.
"Aku gerah, Mas. Jadi memutuskan mandi," sahutku dengan suara serak.
Mas Pras mendekat, ia membelai lembut kepala, kemudian mengamit ujung daguku supaya mendekat pada kewajahnya. Kami bersitatap cukup lama, air mataku tidak berhenti mengalir dari sana.
"Kamu yakin udah bener-bener siap, Sayang?"
Daguku berkerut sambil mengangguk lemah. Mas Pras tersenyum, menarik daguku lebih mendekat kewajahnya dan mendaratkan satu kecupan di kening. Aku memejam seiring air mata yang kembali menetes.
Mas Pras menarik wajahnya kemudian kembali menatap, aku masih memejam, merasakan gejolak yang semakin menyiksa jiwa. Mas Pras menarik pinggang dan tubuh ini lebih merapat ketubuhnya, lalu memutar tubuhku hingga membelakanginya. Satu kecupan lagi mendarat di bahu dan selanjutnya, Suasana kamar mandi yang sudah hangat menjadi panas karena aktifitas kami berdua. Mas Pras membuktikan kalau ia benar-benar mencintaiku.
Tak ada lagi keraguan itu, tak ada lagi prasangka-prasangka yang bersemayam di pikiranku. Selesai melakukan aktifitas yang berpahala bagi pasangan suami istri itu kami mandi junub berdua dan langsung menjalankan shalat Isya berjamaah.
"Kamu pasti mikir yang aneh-aneh ya tadi di kamar mandi," kata Mas Pras sambil membelai kepala. Kami sedang berbaring di ranjang, aku memeluknya dengan kepala bersandar di lengannya.
"Abisnya Mas nggak peka-peka, aku tuh maunya apa. Aku kan lagi pengen di manja, Mas."
"Bukan nggak peka, Sayang. Mas memberi waktu buat kamu, Mas takut kamu belum siap." Ia mencium keningku sambil tersenyum. "Andai kamu tahu, bagaimana tersiksanya Mas menahan semua hasrat dalam diri supaya tidak menyentuhmu. Setiap berada di dekatmu, setiap kali menciummu, Mas menahannya Sayang."
Aku mendongak, menatap bola mata hitam pekat itu dengan seksama. "Benarkah?" tanyaku tidak percaya. Mas Pras tersenyum. Ia mengecup bibir ini dengan mata terpejam. Setelah cukup lama, ia menarik wajahnya.
"Percaya sama Mas!" bisiknya lirih di telinganya.
Aku tersenyum, lalu mengangguk. Kupeluk tubuh kekar ini lebih erat. Malam itu, kebahagiaan berjejal memenuhi setiap sudut hatiku. Mas Prasku ternyata benar-benar mencintaiku.
***
Aku berdiri di balkon sembari menikmati sejuknya angin. Pukul 05.30 Pagi ini suasananya sangat cerah meskipun masih agak gelap. Secerah hatiku, sungguh aku merasa berbunga-bunga seperti pengantin baru. Ternyata dugaanku salah, berpikir bahwa Mas Pras ....
Ah, sudahlah. Semalam sudah terbukti ternyata dia sangat mencintaiku.
“Pagi-pagi senyum sendiri.” Mas Pras tiba-tiba sudah berdiri di sisi. “Tidurnya nyenyak semalem? Mas cari setelah shalat Subuh nggak ada lagi. Eh, ternyata ada di sini.”
“Makasih ya, Mas,” ucapku seraya menoleh ke arahnya sembari tersenyum.
“Buat apa?” sahutnya dengan alis terangkat satu, bertanya.
“Karena sudah sabar menghadapiku, karena sudah mencintaiku, karena sudah menjadi suami yang baik buat aku, pokoknya terimakasih untuk segalanya, Mas.”
Mas Pras membetulkan jilbab, kemudian membelai kepalaku.
“Sama-sama. Sudah seharusnya seperti itu,” jawabnya tersenyum. “Hari ini kita mau ke mana, ya? Eh, kita belum mampir ke rumah Pakde Joko, loh! Kita ke sana aja hari ini. Mau?”
“Boleh, Mas,” jawabku singkat.
Setelah mengobrol banyak hal dengan canda dan tawa, kami masuk dan bersiap-siap berangkat.
***
Butuh waktu sekitar dua jam dari Jogja ke Magelang. Perjalanan yang mungkin tidak akan pernah kulupakan. Liburan bersama orang yang sangat mencintai kita ternyata begitu membuat hati tenteram. Mas Pras tidak pernah melepaskan genggaman tangannya dan aku sangat bahagia. Kami berjalan melewati jalan setapak menuju ke rumak Pakde Joko. Aku memakai rok dan jilbab berwarna marun, kemeja hitam, dan tas ransel berwarna merah. Sedangkan Mas Pras memakai celana dasar dan tas ransel berwarna hitam dipadupadankan dengan kemeja bermotif kotak-kotak berwarna cokelat. Dia terlihat sangat tampan.
Kami bertemu beberapa orang yang lalu lalang. Mereka tersenyum dan menunduk ramah ketika berpapasan. Mungkin mereka tahu kami bukan berasal dari sini. Kami mulai melangkah memasuki area pedesaan; ada banyak rumah-rumah dengan bentuk serupa berjajar di pinggir jalan. Mas Pras mulai menjelaskan tentang rumah tradisional yang ada di sini.
“Sayang, rumah-rumah ini namanya rumah Joglo. Arsitektur dari bangunan Joglo biasanya khas dengan arsitektur Jawa. Namun, sebenarnya arsitektur rumah adat ini di pengaruhi oleh budaya agama Hindu. Apalagi Hindu kuno dulu memiliki banyak pengikut dari Jawa Tengah. Kebanyakan bangunan rumah adat yang masih asli hampir dapat di samakan dengan pura umat Hindu yang berasal dari India. Tuh, coba kamu lihat rumah yang sebelah sana!” Mas Pras menunjuk sebuah rumah yang memiliki halaman luas, bangunannya masih terlihat asli.
“Oh iya, Mas. Mirip pura, ya.” Aku memperhatikan rumah itu dengan saksama.
Kami berjalan menyusuri setapak sambil terus bercerita. Aku mendengarkan penjelasan dari guru sejarah ini. Mas Pras tanpa bosan menjelaskan tentang rumah tradisional adat Jawa. Persis seperti guru yang menjelaskan pelajaran kepada muridnya. Aku memang jadi salah satu muridnya sekarang. Murid kesayangan. He he he.
“Kalau membicarakan kekayaan budaya di Indonesia rasanya tidak ada habisnya, Sayang. Memang Indonesia terkenal dengan beragam budayanya. Salah satunya rumah adat. Ada banyak rumah adat di Indonesia, seperti rumah-rumah adat ini. Rumah adat tradisional Jawa tengah. Banyak orang hanya tau rumah adat di Jawa Tengah itu hanya rumah Joglo. Padahal nih, ya. Sejatinya ada berbagai macam jenis rumah adat yang tersebar.”
“Aku juga tahunya cuma rumah Joglo, Mas. Emang ada rumah adat lainnya?”
“Selain Joglo, ada rumah adat Panggang Pe. Ada lagi rumah adat Tajug, tapi khusus rumah adat yang satu ini merupakan rumah adat yang biasa digunakan untuk bangunan suci seperti masjid serta bangunan lainnya. Namun, rumah ini tidak diperbolehkan jika tujuannya untuk tempat tinggal pribadi.”
Aku manggut-manggut mendengar penjelasannya. Banyak hal yang kuketahui liburan kali ini. Sejauh apapun kami berjalan, aku tetap enjoy dan bersemangat. Mungkin karena bersama Mas Pras.
“Kamu nggak capek? Mas gendong, ya?”
“Mas apa-apaan, sih? Malulah diliatin orang. Aku bukan anak kecil, Mas.”
“Sampai lupa kalau istri Mas ini sekarang sudah dewasa. Semalem aja udah pinter mainnya,” bisiknya di telinga menggoda.
Aku menggaruk kepala yang tertutup hijab. Mas Pras sengaja mau buat aku malu nih, kayaknya. Aku melepaskan genggaman tangannya, kemudian berjalan lebih cepat meninggalkannya.
“Sayang, nanti kamu salah jalan loh kalau duluan.” Mas Pras mengejar dari belakang. Dia menarik tanganku cepat. “Iya, iya, aku minta maaf. Nggak usah ngambek gitu dong, Sayang," katanya tersenyum padaku. Aku menghentikan langkah, lalu menoleh ke arahnya. Bibirku mengerucut sebal.
“Lihat rumah yang di depan itu!” Mas Pras membalikkan tubuhku ke depan lalu menunjuk sebuah rumah sekitar seratus meter dari tempat kami berdiri.
“Apa itu rumah Pakde Joko?” tanyaku penasaran.