Jodohku Bukan Ahli Surga

Suci Afiati
Chapter #3

Satu Kufu

Jika hari Sabtu karyawan kantoran sedang libur, maka bagi Klinik 24 jam Hemodialisa, hari Sabtu tetap harus dituntut untuk bekerja. Helen telah berstatus menjadi karyawan kontrak sebagai apoteker di klinik tersebut kira-kira sudah hampir 4 bulan lebih lamanya. Walaupun ia bekerja full time dari hari Senin-Sabtu, pekerjaannya tidak membutuhkan begitu banyak tenaga dan pikiran. Pekerjaannya sangat terbilang santai, tidak seperti klinik umum atau rumah sakit pada umumnya. Itulah yang menyebabkan Helen nyaman bekerja di situ.

Helen hanya perlu menyiapkan alat-alat kesehatan dan obat-obatan yang dibutuhkan oleh perawat untuk menindaklanjuti pasien HD (Hemodialisa). Sebenarnya klinik HD tersebut membuka pelayanan untuk pasien umum juga, tetapi jumlah pasien umumnya masih terlampau sedikit. 

Tidak menutup kemungkinan, kalau Helen pernah ditegur oleh pimpinan di kliniknya. Ia harus teliti terhadap stok keluar masuknya obat-obatan dan alkes yang berada di instalasi farmasi, karena ia adalah penanggung jawabnya. Pengadaan obat dan alkes tidak boleh terlalu over atau terlalu sedikit. Harus proporsional sesuai kebutuhan. Hari Sabtu pun Helen harus lembur membuat laporan keluar masuknya obat untuk dikirim ke gudang pusat.

“Ngapain sih, lihatin aku terus?” ucapnya ketus kepada salah satu office boy yang duduk di depannya. Kebetulan Helen sedang sibuk mengerjakan laporan mingguan waktu itu.

Office boy tersebut masih terbilang muda. Usianya mencapai 5 tahun di bawahnya. Namun desas desus dari asisten apotekernya, si Ratih, office boy yang bernama Gustiawan tersebut menyukai Helen sejak pertama kali bertemu.

Saat Helen sedang duduk sambil mengerjakan laporan, Gusti tiba-tiba mengambil ponsel Helen yang diletakkan di atas mejanya. Sebenarnya menurut tata krama memang perbuatannya tidak sopan, tetapi di klinik tempat ia bekerja memang menjunjung tinggi rasa kekeluargaan. Jadi saking kekeluargaannya, semua dianggap sama dan setara. Bahkan pimpinan pun terasa seperti layaknya teman mengobrol, santai, dan asyik.

“Kok, foto cowok kamu hilang di layar HP kamu? Biasanya terpampang jelas,” katanya sambil memencet tombol pembuka HP.

“Eh, kesiniin!” Helen mengambil paksa HP yang saat itu masih dipegang Gusti.

“Biasa, dia lagi galau, Gus.” Si Ratih tiba-tiba nyeletuk dan nongol dari balik tembok. Mungkin si Ratih ini lagi gabut dengan kerjaannya, karena pasien HD belum banyak yang selesai dari ruang perawatan untuk menebus obat. “Iya, kan, Len? Status WhatsApp kamu aja tiba-tiba islami-islami begitu,” ucapnya dengan senyuman mengejek. Kedua sudut bibirnya melengkung ke bawah sambil terkekeh kecil. Rupanya selama ini ia juga tahu kebiasaannya saat sedang dilanda galau.

“Oh, kamu putus?” Gusti menebak dan wajahnya tiba-tiba mendekat ke arah Helen, yang saat itu sedang sibuk menulis laporan dengan menunduk. Saat mendongak ke depan, sontak wajah mereka saling bertatapan. Helen refleks memukul kepalanya dengan pulpen yang Helen genggam.

“Aw!” Gusti mengusap kepalanya sambil meringis kesakitan.

“Rasain! Udah sana beliin aku nasi rames! Aku laper!”

“Iya, siap,” ucap Gusti mengangguk pelan. Ia segera beranjak dari kursi dan meninggalkan ruangannya.

“Dia suka sama kamu tahu, Len,” ucap Ratih menggoda, kemudian duduk di depan Helen.

Lihat selengkapnya