Kalau memang ditakdirkan bersama, pasti dari sudut bumi mana pun mereka berasal, pasti akan dipertemukan. Begitulah kalimat yang terngiang di pikiran Helen saat duduk di sudut kereta wanita. Dengan gamis abaya hitam yang menjuntai ke bawah dan jilbab standar yang menutupi area dadanya, ia terlihat seperti layaknya gadis yang siap berhijrah. Padahal sebelum hari itu, ia masih mengenakan celana dan baju atasan yang panjangnya sebatas pinggang. Kemudian jilbabnya pun masih asal terpakai, yang memperlihatkan area dadanya.
“Bismillah, sedikit demi sedikit,” ucapnya dalam hati. Suasana dalam kereta wanita tersebut belum begitu ramai. Namun semua tempat duduknya sudah penuh terisi. Untungnya, Helen termasuk yang mendapatkan tempat duduk tersebut. Mungkin karena ia menaiki kereta pertama dari stasiun Bogor.
Sepanjang perjalanan ia terhanyut dalam lamunan. Kenapa ya, teman-teman aku yang pacaran lama, gampang banget langsung menikah? Terus, kadang yang nggak pacaran pun, mudah sekali mendapatkan jodoh dengan taaruf. Taaruf itu yang harus ada pihak ketiga, kan? Bagaimana bisa dia langsung sreg, sementara dia tidak pernah mengenal calonnya?
Lamunannya pun terbuyar, ketika ia sampai di stasiun Citayam, yang pada saat itu, beberapa perempuan remaja dan beberapa wanita paruh baya memasuki pintu kereta secara bersamaan. Tiba-tiba saja perhatian Helen mengarah pada seorang wanita paruh baya, yang sedang menggendong bayi dengan tergopoh-gopoh sambil membawa koper yang lumayan besar. Ia tampak berdiri untuk mencari tempat duduk. Ditengoknya ke arah kanan dan kiri, serta kursi prioritas yang tersedia, yang ternyata sudah penuh terisi. Padahal terdapat beberapa perempuan remaja yang duduk di kursi. Entah ia sengaja berpura-pura tidur atau asli ketiduran. Dengan berbesar hati, Helen pun mempersilahkan tempat duduknya untuk ibu paruh baya tersebut.
“Wah, makasih, ya, Nak!”
Helen pun tersenyum ke arahnya. Hijrah kan, bukan hanya menghindari pacaran atau berpakaian syar’i. Hijrah juga tentang berbuat kebaikan.
Setelah lama di perjalanan dan naik turun kereta, sampailah Helen di stasiun Buaran. Ia keluar dari stasiun dengan menuruni beberapa anak tangga. Terlihatlah sesosok pria yang sudah menjadi mantan pacarnya tersebut, menunggu di bawah jembatan penyeberangan.
“Hei,” sapanya.
“Kita langsung ke rumah temanku aja!” jawab Helen tanpa berbasa-basi, kemudian ia segera menaiki motor Hunda Beat-nya. Saat di perjalanan menuju rumah Sulis, Helena terus melihat ke arah plastik berwarna hitam yang sedang tergantung di depan motornya. Terlihat di dalam kantong plastiknya, terdapat sebuah kado yang cukup besar berbentuk dompet, yang sudah terbungkus rapi.
“Kamu bungkusin sendiri kadonya?”
“Hah? Enggak. Aku minta tolong sama kakak perempuan aku kemarin. Kenapa? Kelihatan rapi, ya?” tanyanya sambil tersenyum tipis.
“Iya, rapi.”
Dengan bantuan Google Maps, Helen dan Radit akhirnya sampai di depan rumah Sulis. Ia segera menghubunginya melalui telepon WhatsApp. Tak berapa lama pintu pagar pun dibuka oleh Sulis. Mereka segera masuk ke dalam rumah.
“Maaf ya, rumahnya lagi berantakan. Biasa … baru begituan sama suami.” Sulis berbisik ke telinga Helen sambil terkekeh. Helen hanya bisa melihatnya dengan tatapan sinis. “Ayo silahkan duduk! Bentar ya, aku buatin minum!”