Hari-hari adiba Kembali berjalan normal minus statusnya yang menjadi istri seorang dosen. Juga kebiasaan tambahan dari setiap kali mereka menghadiri kelas milik suaminya.
Sikap adiba dan athif masih sama seperti dulu. Saat di kampus mereka bertingkah seakan tidak saling mengenal. Dan athif menjalani pekerjaannya secara professional sebagai dosen.
Pagi itu sedikit berbeda sebab athif bangun lebih telat dari biasanya. Dan membuatnya mesti grasak-grusuk untuk Bersiap-siap. Untung adiba cukup peka dengan membuat sarapan berupa roti yang dioles selai coklat di atasnya. Sebab ia tidak bisa memasak. Di hari sebelumnya, biasa athif yang menyiapkan sarapan.
“adiba, kamu tahu dasi saya yang warna hitam ada di mana?”
“Nggak tahu, saya nggak pernah liat.”
“Ck! Dimana sih.”
“Masih di laundry mungkin, pakai dasi lain juga bisa kan, pak?”
“Nggak bisa. Nggak mau. Nggak bakal cocok sama kemeja saya yang ini.”
Ribet amat nih laki, batin adiba.
“Dicari ntar lagi, sarapan dulu. Ucapnya sambil menunjuk roti didepannya. Ia sendiri Tengah menguyah sarapannya.
“Tumben bikin sarapan gak biasanya kamu. Inisiatif jadi yang baik?”
“Salh mulu kayaknya saya di mata bapak deh,” celetuk adiba.