Seketika ada pesta kembang api dalam kepala adiba. Begitu berisik dan bergema. Perasaannya berdesir. Bukan karena ia sangat senang jika laki-laki yang dijodohkan dengannya adalah athif. Namun sebaliknya, dari banyaknya pria di muka bumi, kenapa harus dosennya yang galak?
“Adiba?” panggil mamanya untuk menyadarkan adiba dari lamunan.
“Oh eh iya, ma.”
“Kayaknya kita tidak harus berkenalan lagi. Karena sudah saling mengenal. Kamu adiba dari jurusan ekonomi Angkatan 22, kan?.”
Buset, hafal banget. Ya iyalah orang gue langganan di hukum sama lo, batin adiba.
Adiba yang sejak tadi menunduk kini sedetik curi pandang kea rah athif yang sedang menatapnya intens. Membuat jiwanya meronta-ronta. Sejak kapan aura athif jadi terkesan kalem dan mengayomi seperti ini. Padahal saat di kampus, bagi adiba dosennya itu semacam malaikat maut.
“….i-iya, pak.”
Adiba lantas menoleh dan menatap mamanya dengan sorot matanya yang sulit untuk diartikan. Seakan berkata, “Kenapa nggak bilang kalo orang yang mau dijodohkan sama aku itu dosen aku sendiri?!”
Mamanya hanya bisa tersenyum samar, seakan senang sudah membat anaknya terkejut.
Meski begitu, ada sedikit kelegaan dalam diri adiba. Setidaknya ia dijodohkan dengan laki-laki yang sudah ia kenal. Bukan benar-benar orang asing. Eh tap tunggu, seorang athif yang mau dijodohkan dengannya?
“Em…. Pak Athif. Saya boleh tanya?” adiba tiba-tiba membuka suara.
“Dia calon suami kamu bukan calon bapak kamu, adiba,” tegur mamanya.
“Terus manggilnya apa dong? Kan biasa juga dipanggil pak, protes adiba.
“Mas.”
IDIH ANJIIIRRR, batin adiba.
Athif tiba-tiba terkekeh membuat adiba menatap laki-laki dihadapannya itu dan bergidik ngeri. Dia memang betulan athif dosennya di kampus atau beda orang atau sedang kerasukan jin. Kenap terlihat sangat ramah seperti itu.
“Nggak papa, panggil senyamannya kamu aja. Kenapa?”
Jika adiba segera segera mengutarakan rasa penasarannya si sini mengenai alasan athif menerima tersebut, pasti kedua orang tuanya akan mengomel dan berkata tidak sopan. Maka izin kepada kedua orang tuanya untuk mengajak athif mengobrol di lantai bawah.
Begitu mereka sampai, adiba lantas membuka suara.
“Bapak kok mau sih dijodohin sama saya?”
Athif menggendikkan bahu begitu saja. Terkesan cuek dan Kembali ke pembawaan asli dirinya.
“Kamu sendiri kenapa mau?” Athif malah balik bertanya.
Adiba melipat kedua tangannya didepan dada dan merengut. “Bukan mau tapi terpaksa. Itu permintaan terakhir dari kakek saya sebelum meninggal.”
“….”
“Serius nih, bapak kok mau sama saya?”
“Sebenarnya nggak mau,” jujur athif. Dia lantas menatap adiba dari ujung kepala sampai kaki. Perawakannya terlihat seperti masih bocah dan tidak ada kesan dewasanya sama sekali.
“Terus?” sungut adiba.
“Kalo dipikir-pikir nggak ada salahnya juga. Pilihan keluarga saya pasti tidak akan salah. Walau habis liat kamu, saya jadi sedikit meragukan pilihan meraka sih.”
“MAKSUDNYA?”
Athif segera membekap mulut adiba. Berbeda dengan lantai atas yang ditempati oleh mereka berempat sebab athif menyewa khusus. Di lantai bawah ramai pengunjung dan teriakan adiba barusan berhasil mengundang perhatian dari banyak orang.