"Ayo pak sopir, bisa agak ngebut dikit ga?" ujar Neyla yang sudah panik karena seharusnya dia sudah berada di Auditorium sekarang.
"Maaf Mbak, ini macet banget jalannya," jawab Pak Sopir itu.
"Kamu sih Ney pakai acara sakit perut di momen penting kek gini," Marvel yang mulai menguliti dosa-dosa Ney.
"Ya maaf... Nervous nih soalnya," sahut Ney.
"Nervous atau gara-gara kebanyakan makan sambal semalem, hah?" tukas Marvel.
"Iya... iya... maaf..." jawab Ney dengan muka masam.
Lima menit kemudian tibalah Ney di depan Auditorium. Hari wisuda di kampus terasa seperti puncak dari perjalanan panjang yang penuh tantangan bagi Ney dan teman-temannya. Langit cerah dan suasana yang meriah menambah kehangatan hari tersebut. Saat masuk ke dalam Auditorium, tempat itu dipenuhi oleh keluarga, sahabat, dan dosen yang datang. Ney, dengan gaun toga dan topi yang dipasang rapi, duduk di kursinya, merasakan campuran antara kebanggaan dan kegugupan yang menyelimuti dirinya.
Ketika giliran wisudawan dipanggil satu per satu, Ney menunggu dengan penuh antusias. Suara riuh dari teman-temannya mulai terdengar saat nama-nama wisudawan lain diumumkan. Akhirnya, giliran Ney tiba. Auditorium langsung bergemuruh dengan sorakan semangat. "Ney! Ney! Ney!" teriak teman-temannya, berdiri dan bertepuk tangan dengan gembira. Ney merasa jantungnya berdebar kencang, tetapi ia mencoba tetap tenang, melangkah maju menuju panggung dengan senyum lebar.
Di atas panggung, Ney menerima ijazah dari rektor dengan penuh kebanggaan. Sorakan teman-temannya semakin keras, menambah semangat dalam dirinya. Namun, saat Ney berbalik untuk kembali ke kursinya, sebuah kejadian yang tak terduga terjadi. Karena sedikit gugup, Ney tidak menyadari bahwa ijazahnya yang baru diterima tergelincir dari tangannya dan jatuh ke lantai. Dalam sekejap, suasana yang meriah berubah menjadi canggung.
Ney langsung membungkuk untuk mengambil ijazahnya, namun dalam kegugupan itu, topi toga yang dikenakannya juga ikut terjatuh dan berguling di lantai. Seluruh auditorium terdiam sejenak, menyaksikan momen yang tidak terduga ini. Ney merasa pipinya memanas dan dadanya berdegup kencang, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang dan tersenyum. Teman-teman Ney, yang sudah melihat kejadian tersebut, tidak bisa menahan tawa. Mereka mulai tertawa lepas, dan suasana yang tadinya canggung mulai dipenuhi dengan gelak tawa.
"Hahaha..." suara tawa menggema di Auditorium itu.
Ney, dengan ijazah di tangan dan topi toga yang agak miring di kepalanya, berdiri di sana dengan senyum lebar meskipun wajahnya sedikit memerah karena malu.
"Cekrekkk..." fotografer menjepretkan kameranya untuk mengambil foto Neyla, dengan ijazah di tangan dan topi toga yang miring itu. Ney tahu bahwa hari wisuda ini adalah simbol dari kerja keras dan dukungan yang telah ia terima dari orang-orang terkasih. Dan dengan itu, hari wisuda menjadi salah satu momen terindah dalam hidupnya.
***
Sudah enam bulan waktu berlalu setelah wisuda Neyla, tapi Neyla tidak kunjung mendapat pekerjaan juga. Dia telah mengirimkan ratusan lamaran pekerjaan, menghadiri berbagai wawancara, dan mengikuti pelatihan keterampilan tambahan. Namun, hingga kini, semua usahanya belum membuahkan hasil yang diinginkan.
Setiap pagi, Neyla memulai harinya dengan semangat, membuka email untuk memeriksa apakah ada balasan dari perusahaan-perusahaan tempat dia melamar. Sayangnya, kebanyakan hanya memberikan balasan otomatis atau, lebih buruk lagi, tidak ada balasan sama sekali. Dia sering kali merasa cemas dan frustasi saat memikirkan bagaimana usahanya yang keras seolah tidak berarti apa-apa.
Satu hari, Neyla datang ke gedung tempat wawancara pekerjaan yang tampaknya menjanjikan. Seperti biasanya, Ney yang susah bangun pagi harus berlarian dari ojol untuk masuk ke gedung wawancara.
"Selamat pagi, Mbaknya ada keperluan apa?" tanya petugas keamanan.
"Saya... mau wawancara pekerjaan PT. Alam Raya, Pak," Ney menjawab dengan napas yang terengah-engah.