Ada hal kecil yang selalu membuat hati Qasya terasa bahagia, bahkan ketika dunia seakan tidak pernah berpihak padanya. Saat sepotong kue cokelat meleleh di lidah, manisnya bercampur pahit, membentuk rasa yang hanya bisa ia nikmati sendiri. Sejenak, semuanya terasa hilang: beban, kecewa, luka.
Akan tetapi kali ini berbeda.
“Tidak ada pilihan lain. Kakakmu tidak mau menikah, jadi kamu yang akan menggantikannya. Baik Qalina atau Qasya, sama saja dua-duanya putri Abi.”
Kata-kata Abinya terus terngiang, membuat dadanya sesak. Adonan kue cokelat yang seharusnya harum justru berubah jadi gosong. Asap tipis mengepul dari oven, menyebar ke dapur toko kue itu. Hatinya ikut terasa hangus.
“Qasya, kamu sebaiknya pulang. Kalau terus begini, bahan-bahan di toko ini bisa habis.”
Suara lembut Bu Rima, pemilik toko kue, menyentak lamunan Qasya. Sudah terhitung 3 kali Qasya gagal memanggang kue coklat.
“Maaf, Bu. Saya akan mengganti kerugiannya.” Qasya menunduk, menahan rasa bersalah.
“Bukan soal rugi, Nak. Kamu butuh istirahat.” Bu Rima menepuk bahunya, kemudian berbalik, meninggalkan Qasya dengan tatapan penuh iba.
Qasya menatap kue-kue gosong di depannya. Legam, tak berbentuk, tak enak dilihat, seperti dirinya di mata keluarganya. Ia melepas apron, merapikan dapur yang berantakan. Saat semua sudah terlihat rapi, Qasya justru terdiam seakan enggan beranjak dari sana.
Otaknya kembali di ingatkan, tiga hari lagi adalah hari yang diyakini akan mengubah seluruh jalan hidupnya. Hari pernikahan dengan seorang pria yang bahkan belum pernah ia kenal sebelumnya. Sebuah ikatan lama, hasil perjodohan yang sejak dahulu disepakati oleh kakek dan neneknya. Meski zaman telah jauh berubah, dan kisah seperti itu seolah hanya milik cerita klasik semacam Siti Nurbaya, kenyataannya ia tetap harus melangkah menjalaninya.
“Qasya, pamit ya, Bu,” ucapnya sambil meraih tangan wanita paruh baya itu. Bu Rima tengah sibuk menata kue-kue di etalase yang sudah tampak kosong karena sebagian besar dagangan laris terjual.