Buku Dasar-Dasar Ilmu Politik yang ditulis oleh Miriam Budiardjo, semenjak terbit untuk pertama kalinya pada 1977 sampai catatan ini ditulis, telah dicetak 41 kali oleh penerbitnya. Bahkan untuk Gramedia Pustaka Utama pun, cetak ulangnya merupakan suatu rekor, melampaui buku-buku fiksi roman paling populer. Ketika buku “tanpa desain” yang hanya bersampul biru itu tampak di toko buku, saya pun ikut membelinya. Meskipun waktu itu saya belajar tentang sinematografi, pada lembaga yang sekarang bernama Institut Kesenian Jakarta, saya juga ingin “tau politik” dong. •
Namun setelah membuka-bukanya, ternyatalah bahwa isinya “susah masuk” ke dalam kepala saya. Bukannya tanpa usaha, sampai beberapa tahun saya masih terus mengulang buka halaman yang sama, tetapi tetap susah sekali maju ke halaman berikutnya. Mungkin saja saya terlalu bodoh, tetapi bukan berarti perhatian saya kepada politik, di dalam dan luar negeri, hilang sama sekali. Sebaliknya, meski pentas politik selama Orde Baru bagi saya tidak menarik diikuti, secara “instingtif” saya kadang-kadang menyambar juga buku-buku tentang politik, mungkin karena saya mendapat kesan, tetapi yang baru saya sadari sekarang, bahwa dunia politik sebetulnya sungguh-sungguh perlu diperhatikan. Terutama, tentunya, karena yang berlangsung dalam dunia politik akan menentukan bagi kehidupan setiap orang.
Dengan kata lain, meski hanya salah satu faktor, politik (baca: ideologi) tetap merupakan faktor determinan dalam hubungan-hubungan kuasa (power relations), dan hubungan-hubungan kuasa ini berperan sentral dalam proses hegemoni yang tidak akan pernah berakhir. Begitulah setidaknya jika pemikiran Foucauldian dan Gramscian digabungkan.
Mungkin inilah yang membuat saya tetap merasa perlu mempelajari, meskipun nggak ngerti-ngerti, dan sebagai wartawan pun mewajibkan diri mengikuti peristiwa-peristiwa politik.
Ketika pihak Koran Tempo menawarkan kepada saya untuk menulis “kolom politik”, saya tidak langsung menyanggupinya, karena sudah jelas bahwa ilmu politik bukanlah bidang yang boleh saya anggap telah saya kuasai. Namun, pengalaman saya menulis kritik film mengajarkan, bahwa bidang apa pun dapat dipandang dari mana pun. Sama seperti sebuah film pun sahih dipandang secara politis, dan dalam kenyataannya jarang dibicarakan secara sinematografis. Jadi, untuk bicara politik, saya tidak harus “pura-pura tahu politik”—saya cukup menuliskan apa yang saya ketahui sahaja. Toh hanya setelah Kelik M. Nugroho yang saat itu menjaga rubrik “Pendapat” di harian tersebut meyakinkan saya, barulah saya mulai menuliskannya.