Jokowi, Sangkuni, Machiavelli

Mizan Publishing
Chapter #3

Korupsi dan Wangsa Wayang

Wacana tradisional tidak mengizinkan korupsi, tetapi mengizinkan nepotisme dan kroniisme.

Argumen kaum nepotis dan kroniis sudah tersanggah dan gugur. Pertanyaan seperti, “Apa salahnya anggota keluarga saya bekerja di kantor saya jika memenuhi syarat dan mampu?”, maupun “Apa salahnya saya membentuk kelompok kerja di antara kawan-kawan saya sendiri jika tidak melanggar peraturan dan mampu?”, telah terjawab oleh praduga kejatuhan (presumption of fallibility): bahwa sulit bersikap tegas terhadap saudara dan kawan sendiri jika mereka bersikap korup dan merugikan orang banyak.

Jadi, kebalikan dari praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang hanya tepat diterapkan dalam pengadilan, praduga kejatuhan atawa praduga bahwa di antara kawan dan keluarga seseorang mungkin jatuh dalam kesalahan tanpa bisa dikontrol, justru sangat penting diterapkan di luar pengadilan—sebagai tindakan preventif (Kleden, 30/10/2013: 6).

Namun bersama itu jelas pula: korupsi membuktikan, etika sosial semacam itu memang tidak dikenal. Adapun sebabnya (1) tidak semua pejabat negara atau pegawai negeri itu pendidikan formal maupun nonformalnya mengenalkan etika sosial semacam itu; (2) pun jika mengenalnya, tentu hanya sebagai suatu pengetahuan lepas, dan tidak merupakan bagian dari sikap etis dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan praduga tak bersalah, bahwa kaum nepotis dan kroniis yang terlibat tindak pidana korupsi ini semuanya adalah “orang baikbaik”, dapatlah dikatakan bahwa meskipun agama masing-masing pasti menabukan korupsi, secara langsung dan eksplisit tidak terdapat tradisi atawa sistem nilai yang mendukung penerapan praduga kejatuhan. Akibatnya, korupsi bisa berlangsung justru sebagai bagian dari sistem nilai tersebut, misalnya saja bahwa “rezeki” (baca: hasil korupsi) tidak boleh dinikmati sendiri dan sebaiknya dibagi untuk dinikmati bersama seluruh keluarga dan handai taulan tercinta.

Lihat selengkapnya